Lihat ke Halaman Asli

Reza Ananta

Mahasiswa

Patriarki: Warisan Budaya yang Mengakar dalam Ketimpangan Gender

Diperbarui: 25 Desember 2024   23:23

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Patriarki Perempuan (Sumber: Pinterest)

Ketimpangan gender sering kali dianggap sebagai isu modern, padahal sebenarnya ia merupakan buah dari akar patriarki yang telah tertanam selama berabad-abad. Patriarki bukan hanya sebuah sistem, melainkan warisan budaya yang secara diam-diam membentuk cara kita berpikir, bertindak, dan berinteraksi satu sama lain. Dari meja makan keluarga hingga ruang rapat perusahaan, sisa-sisa dominasi gender ini terus memengaruhi kehidupan sehari-hari. 

Bayangkan sebuah dunia di mana peran gender tidak lagi menjadi batasan, tetapi justru menciptakan peluang. Sayangnya, realitas saat ini masih jauh dari impian tersebut. Dari tradisi yang dianggap sakral hingga norma sosial yang sulit digoyahkan terus memperkuat cengkeraman patriarki, membatasi potensi sekaligus menghalangi terciptanya kesetaraan gender. Ketika suara perubahan semakin nyaring, apakah kita benar-benar siap menantang warisan budaya yang begitu dalam mengakar ini?

Secara etimologi, patriarki berasal dari "patriark" yang berarti kekuasaan bapak, yang digunakan untuk menggambarkan keluarga yang dikuasai oleh laki-laki (Wandi, 2015). Seiring waktu, istilah patriarki tidak hanya merujuk pada struktur keluarga, tetapi juga berkembang menjadi dominasi laki-laki dalam berbagai aspek kehidupan, menjadikan perempuan berada dalam posisi yang lebih rendah. Dominasi laki-laki dalam masyarakat yang kini tidak lagi dipandang sebagai fenomena, melainkan sebagai normalitas yang menganggap bahwa laki-laki memang seharusnya memiliki kedudukan lebih tinggi daripada perempuan. Akibatnya, patriarki telah menjadi sistem sosial yang mengakar kuat, termasuk di Indonesia, di mana struktur patriarki sering kali diterima sebagai norma yang tidak dapat terbantahkan.

Manifestasi akan patriarki tercermin dalam berbagai aspek kehidupan, memperkuat dominasi laki-laki dan mempertahankan ketimpangan gender di masyarakat. Di banyak masyarakat, peran gender tradisional masih dijunjung tinggi, mencerminkan patriarki yang kokoh. Sebagaimana yang dapat diamati, terutama di Indonesia, perempuan dan laki-laki dibesarkan dengan peran yang berbeda. Laki-laki seringkali diposisikan sebagai kepala keluarga, yang mengharuskan mereka untuk menjadi pencari nafkah utama dan bertanggung jawab atas pemenuhan kebutuhan rumah tangga. Sebaliknya, perempuan diharapkan memprioritaskan tugas domestik, seperti mengurus rumah tangga dan membesarkan anak-anak, meskipun mereka juga bekerja di luar rumah untuk membantu perekonomian keluarga. Dalam budaya Jawa, perempuan dikenal dengan istilah kanca wingking atau "teman di belakang," yang menggambarkan tiga tugas utama yang diemban, yaitu macak, manak, masak (Wijanarko, 2017). Ekspektasi tersebut menciptakan beban ganda yang menghambat perkembangan karir dan kesejahteraan fisik serta mental seorang perempuan.

Kekerasan berbasis gender juga menjadi manifestasi lain dari patriarki yang sangat merugikan. Dalam sistem patriarki, perempuan sering kali menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga, pelecehan seksual, atau bentuk eksploitasi lainnya. Kekerasan ini sering kali muncul sebagai akibat dari objektifikasi perempuan, di mana mereka diperlakukan sebagai properti laki-laki atau dianggap lebih rendah secara sosial.

Namun, sebenarnya, peran akan gender ini tidak hanya merugikan para perempuan, tetapi juga laki-laki. Tuntutan pada laki-laki untuk menjadi sosok yang kuat, tegas, mandiri, serta mampu menopang perekonomian keluarga sering kali memunculkan pandangan sebelah mata terhadap laki-laki yang tidak dapat memenuhi ekspektasi tersebut. Begitu juga dengan perempuan, pembatasan peran yang dialami perempuan membatasi kesempatan mereka untuk dapat berpartisipasi lebih luas dalam kehidupan sosial, politik, ekonomi, dan pendidikan. Konsekuensi ini semakin memperdalam subordinasi perempuan dalam masyarakat.

Perlawanan terhadap patriarki telah berkembang pesat dalam beberapa dekade terakhir melalui berbagai gerakan yang berfokus pada kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan. Salah satu gerakan yang paling berpengaruh adalah feminisme, yang telah memperjuangkan hak-hak perempuan di berbagai sektor kehidupan, termasuk dalam bidang sosial, politik, ekonomi, pendidikan, dan keluarga. Feminisme menuntut perubahan dalam norma sosial yang membatasi peran perempuan dan mendorong kesetaraan akses serta kesempatan bagi perempuan dan laki-laki.

Kampanye global seperti #MeToo juga telah menjadi gerakan yang memberikan dampak besar dalam perlawanan terhadap patriarki, khususnya dalam mengungkap kasus kekerasan seksual dan pelecehan yang sering terjadi di tempat kerja, dalam kehidupan sosial, serta di dunia hiburan. Gerakan ini memberi kekuatan kepada perempuan untuk berbicara tentang pengalaman mereka, menuntut keadilan, sekaligus meningkatkan kesadaran masyarakat tentang ketidaksetaraan gender yang masih terjadi dalam masyarakat.

Gerakan-gerakan ini tidak hanya fokus pada isu-isu yang dihadapi perempuan, tetapi juga menantang struktur sosial yang mendukung ketimpangan gender. Misalnya, banyak dari gerakan ini melibatkan laki-laki untuk ikut serta dalam proses perubahan sosial, mendorong mereka untuk memperjuangkan kesetaraan dan berperan aktif dalam membangun masyarakat yang lebih adil.

Referensi
Wandi, G. (2015). Rekonstruksi Maskulinitas: Menguak Peran Laki-laki dalam Perjuangan Kesetaraan Gender. Kafa'ah: Journal of Gender Studies, 5(2), 239-- 255. https://doi.org/10.15548/jk.v5i2.110
Wijanarko, F. (2017). Gender dan Domestikasi Perempuan (Pendekatan Kodikologi Visual Naskah Dewi Mutasiyah). Buana Gender. 2(2), 123. https://doi.org/10.22515/bg.v2i2.987

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline