~Yang lebih penting adalah kejujuran dan kesucian hati, Bukannya cara berpakaian dan tata sopan yang dibuat-buat. -Soe Hok Gie
Akhir Februari 2023, publik Indonesia digegerkan dengan kasus penganiayaan yang dilakukan oleh anak seorang eks pejabat eselon III Direktorat Jenderal Pajak (DJP) yang menduduki posisi sebagai Kepala Bagian Umum DJP Kanwil Jakarta Selatan. Selain membuat heboh karena kejadian penganiayaan yang dilakukan terhadap anak petinggi GP Ansor, publik juga menyoroti gaya hidup hedonis yang dilakukan oleh Mario Dandy Satrio sebagai pelaku penganiayaan dan jumlah kekayaan ayahnya, Rafael Alun Trisambodo.
Selain itu, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) Kementerian Keuangan telah mencopot resmi Eko Darmanto (ED) dari jabatannya sebagai Kepala Kantor Bea Cukai Yogyakarta. Pasalnya, jumlah kekayaan senilai 56,1 miliar dianggap tidak wajar, bahkan beberapa hartanya tidak dilaporkan kepada LHKPN KPK.
Gaya hidup mewah dan kekayaan yang dimiliki, dinilai tidak wajar ketika dibandingkan dengan pekerjaan yang dimiliki. Hal tersebut dapat terjadi karena mereka paham tentang bagaimana mekanisme dan sistem yang berjalan dalam mengelola keuangan.
Akhirnya, banyak pejabat yang pintar untuk menyembunyikan hartanya atau mencuci uangnya. Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh LHKPN sampai dengan bulan Februari, sebanyak 13 ribu pegawai Kementerian Keuangan belum melaporkan harta kekayaan mereka.
Belum adanya regulasi hukum yang jelas mengenai perampasan aset dan tindak pidana bagi mereka yang tidak melaporkan hartanya pada LHKPN, membuat harta yang mereka miliki sulit untuk di investigasi.
Oleh karena itu diperlukan payung hukum untuk dapat melakukan investigasi pada harta yang dimiliki oleh pejabat yang memiliki harta kekayaan tidak wajar.
Eks penyidik KPK, Yudi Purnomo Harahap, pada cuitannya menyampaikan bahwa diperlukan adanya Undang-Undang Perampasan Aset dan Sistem Pembuktian Terbalik agar nantinya penyidik akan lebih mudah untuk melakukan investigasi dan merampas kekayaan yang diperoleh dari hal-hal yang tidak sah milik pejabat.
Di lain hal, perlu adanya penguatan terhadap LHKPN untuk dapat melakukan sanksi pidana, tidak hanya sanksi administrasi bagi mereka yang tidak melaporkan harta kekayaan, namun juga, bagi mereka yang melaporkan aset bohong. Sehingga seolah-olah mereka tidak memiliki harta yang banyak. Sudah seharusnya pelaporan LHKPN tidak hanya dikonversi menjadi tingkat kepatuhan saja, namun bagaimana cara mengelola aset tersebut agar mengejar pengembalian kerugian negara.
Dengan adanya UU Perampasan Aset, itu akan menjadi bentuk keadilan yang sederhana bagi masyarakat yang taat untuk membayar pajak dan uang hasil pajak dapat digunakan untuk kesejahteraan masyarakat Indonesia. Pejabat yang memiliki harta yang tidak wajar melalui tindakan korupsi ataupun hal-hal yang tidak dibenarkan dalam hukum dapat dimiskinkan sehingga mereka akan takut untuk melakukan tindakan tersebut.