Akhir-akhir ini telinga kita dibuat bising oleh isu keberadaan PKI. Lantas apa benar? Apa buktinya? Siapa orang-orangnya? Mungkin pertanyaan ini merupakan pertanyaan yang lazim dan wajar kita pertanyakan kembali pada situasi dan kondisi politik yang semakin ganas saat ini.
Sebelum ke pokok permasalahan, pembaca harus ketahui, bahwa tulisan pendek ini bukan untuk membela satu pihak ataupun untuk menyudutkan pihak lain, tetapi hanya untuk mengetengahkan asumsi-asumsi yang berkeliaran di tengah masyarakat. Dan penulis sadar bahwa penulis bukanlah seorang sejarahwan yang mau menguji masa lalu dengan metodologi sejarah yang ketat. Akan tetapi, dalam pendekatan filsafat, yang diharapkan muncul adalah nilai-nilai etik dan moral bagi manusia untuk berpikir kritis. Socrates menyebutnya dengan 'metode dialektika' (baca Sudarto: Metodologi Penelitian Filsafat).
Dengan adanya kegiatan berpikir kritis, maka sesuatu informasi apapun dapat dipertanyakan dan dipertanggungjawabkan atas dasar akal pikiran. Yunus (2010) mengatakan bahwa "ketiadaan informasi akan membelenggu kehidupan manusia, menjadikan manusia tidak dapat berpikir maju, bahkan cenderung dapat menjebloskan manusia ke dalam belenggu kebodohan".
Kita mulai dari berita global, karena menarik sekali untuk mengamati gejala dunia dalam dekade akhir-akhir ini. Uni Soviet bersama sistem Partai Komunis telah bubar. Tembok Berlin sudah diruntuhkan. Sistem Partai Komunis di Tiongkok (dulu RRC) tidak begitu bergema lagi. Di Indonesia, PKI bagaimana?
Dilihat dari perspektif linguistik (bahasa), PKI adalah sebuah singkatan dari Partai Komunis Indonesia. Partai Komunis Indonesia (PKI) merupakan sebuah partai politik di Indonesia yang telah BUBAR (lihat Wikipedia kalau tidak percaya). Dengan kata lain, PKI merupakan sebuah partai dengan ideologi komunisme atau marxisme yang hidup dan berkembang di Indonesia (pada waktu dulu), artinya sudah bubar 54 tahun lalu (1966). Sedangkan secara etimologi, definisi komunisme adalah "paham atau ideologi (dalam bidang politik) yang menganut ajaran Karl Marx, yang hendak menghapuskan hak milik perseorangan dan menggantikannya dengan hak milik bersama yang dikontrol oleh negara" (lihat KBBI, 2013: 722).
Jelas secara linguistik (bahasa) bahwa PKI dan Komunisme (marxisme) itu beda. Artinya PKI (partai) sudah bubar karena bertentangan dengan ideologi Pancasila (baca sejarah), sedangkan komunisme (marxisme) masih berkembang dan dinamis. Oleh karenanya munculah yang namanya paham sosialisme, atau kita sebut dengan kaum sosialis. Sekarang pertanyaannya adalah apa yang kita takutkan? Partainya atau ideologinya?
Pertanyaan di atas seharusnya sudah bisa terjawab dan tidak terbantahkan lagi. Jika kita takut dengan partainya, maka itu sudah tidak logis, karena partainya sudah dibubarkan. Dan jika kita takut dengan ideologi Komunisme, maka itu salah nalar, bahasa kerennya kesesatan berpikir, pikiran kok ditakuti, lucu kan?
Sadar atau tidak, mau percaya atau tidak, keberadaan paham atau ideologi marxisme tidak bisa dilarang, karena ideologi berkerja di otak manusia. Selama masih dipakai dan dipikirkan, maka dia akan berjalan sendiri. Oleh karena itu, yang dapat dilarang adalah partainya (institusi), bukan ideologinya. Tapi fakta menyebutkan bahwa partai komunis sudah bubar. Lantas apa yang perlu dibubarkan lagi?
Di sisi lain, ada hal lain yang harus diketahui mengenai ideologi Marxisme, yaitu pendidikan. Di bidang pendidikan, ada aliran pendidikan yang sangat terkenal, yaitu teori pendidikan Marxis-Sosialis. Bahkan sampai sekarang masih digunakan. Anda yang takut setakut-takutnya atau Anda yang suka menakut-nakuti orang lain dengan kata ideologi Komunisme-Marxisme jangan menutup mata soal ini. Mulai dari sekarang kalau masih anti dengan ideologi Komunisme-Marxisme, setop pendidikan Anda atau anak-anak Anda.
Pengaruh pendidikan Marxis dan turunan-turunannya (Neo-Marxis, Dialogis Freirean, dsb) merupakan aliran pendidikan yang tidak akan pernah mati. Misalnya pendidikan non-formal model kerakyatan dipengaruhi paham marxisme, yang justru hadir dalam keseharian rakyat, terutama di kalangan rakyat miskin.
Kembali ke sejarah, secara khusus, Marx pernah memberikan sebuah pidato tentang pendidikan, dan kemudian diteruskan oleh Vladimir Lenin memberikan pidato dalam Kongres tentang Pendidikan untuk Semua (All-Russia Congress on Education) (Lihat Soyomukti: Teori-Teori Pendidikan-dari Tradisional, Neo-Liberal, Marxis-Sosialis, hingga Postmodern).