Lihat ke Halaman Asli

rezaa er

Pelajar

Stigma Literasi? Kutu Buku? Apakah Dapat Menghambat Indonesia Emas 2045

Diperbarui: 19 Februari 2023   15:37

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

(pexels.com/Rahul Pandit)

Menurut Elizabeth Sulzby "1986", Literasi adalah kemampuan berbahasa yang dimiliki oleh seseorang dalam berkomunikasi "membaca, berbicara, menyimak dan menulis" dengan cara yang berbeda sesuai dengan tujuannya. Jika didefinisikan secara singkat, definisi literasi yaitu kemampuan menulis dan membaca. Kemampuan berliterasi dibutuhkan  Indonesia untuk menyambut Indonesia Emas 2045. Namun, apakah Indonesia termasuk negara yang penduduknya rajin berliterasi?

Hasil penelitian Programme for International Student Assessment (PISA) menyebut, Tingkat membaca Siswa  Indonesia pada 2010 menempati urutan ke 57 dari 65 negara yang diteliti di dunia. Dengan tingkat melek huruf orangdewasa 65,5 persen (UNESCO ,2012).

Indeks minat baca di Indonesia hanya 0,001 persen dikali jumlah penduduk Indonesia yang jumlah penduduknya 270.000.000 jiwa. Artinya hanya sekitar 2.700 orang dari seluruh penduduk Indonesia yang memiliki minat baca. 

Salah satu penyebab kurangnya minat baca di kalangan pelajar adalah adanya stigma bahwa orang yang rajin membaca buku adalah seorang "kutu buku". stereotip kutu buku di pandangan sebagian orang adalah mengacu kepada orang aneh, sosok yang lemah, dan kurang pergaulan. Padahal ini hanyalah stigma yang dapat dipatahkan dengan tidak menghiraukan orang-orang yang memiliki stigma buruk tersebut. 

Untuk meningkatkan budaya literasi dan mematahkan stigma buruk tersebut, SMAN 1 Leuwiliang mencontohkan kesuksesan dalam literasi. Sekolah ini memiliki beberapa program untuk meningkatkan minat baca dan tulis civitas akademikanya melalui gerakan budaya literasi seperti , Smanell Geulis (Gerakan Menulis), Becak Mang Odik(Beja-beja carita nu mangpaat jeung ngadidik), pojok literasi, dan pojok baca di setiap kelasnya.

"Program ini menerapkan budaya membaca dan menulis khususnya di kalangan pelajar dan guru agar minat masyarakat umum ikut dan pengetahuan akan meningkat." Ungkap H. Taopik, S.Pd., M.Pd.I selaku kepala SMAN 1 Leuwiliang.

Gerakan ini mewajibkan seluruh siswa, guru, dan semua masyarakat sekolah membaca dan menulis minimal 15 menit dalam sehari. Melalui gerakan itu, ia berharap, kemampuan literasi Indonesia khususnya di lingkungan sekolahnya akan semakin meningkat sehingga generasi Indonesia akan semakin siap menghadapi Indonesia Emas 2045.

Oleh karena itu, setiap sekolah dapat menggalakkan kegiatan literasi di setiap kegiatan pembelajarannya. Minimal membaca dan membuat satu artikel untuk menambah wawasan. Selain itu, sekolah juga harus memfasilitasi sarana dan prasarana seperti Literasi Digital dan perpustakaan online agar dapat dengan mudah diakses dimanapun dan kapanpun dengan bacaan yang menarik dan tidak terkesan monoton sehingga siswa lebih tertarik untuk membaca dan tidak merasa jenuh. 




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline