Lihat ke Halaman Asli

Wayang Cecak

Diperbarui: 22 November 2022   08:12

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Cerpen karya: Reyzeta Nabila Oriza Putri

Tiga tahun mengenalnya, tidak pernah ku dapati ia semurung ini. Tiga tahun menjalin hubungan persahabatan dengannya tidak pernah ku dapati ia semenyedihkan dan seputus asa sekarang. Untuk gadis remaja yang baru saja menginjakkan umur enam belas tahun aku tahu ini tidak mudah untuk diterima olehnya. Aku tahu, akan sangat sulit mengikhlaskan satu satunya orang yang kita punya di dunia. Akan sangat sulit melepaskan seseorang yang selama ini menjadi pelindung, menjadi sumber kekuatan atau bahkan alasan satu satunya yang ia punya untuk tetap bertahan hidup di bumi yang fana ini.

Tetapi, disamping semua itu aku juga tahu, aku juga yakin bahwa, ia adalah sosok perempuan yang kuat dan tidak mudah rapuh. Walaupun sempat beberapa kali aku mendapati ia yang mencoba bunuh diri, tetapi aku yakin bahwa di dalam hati kecilnya ia masih menginginkan hidup. Ia masih ingin mengejar cita-cita serta mewujudkan mimpi kecilnya. Ia masih ingin berusaha membuktikan kepada semua orang---terutama ayahnya---bahwa ia bisa menjadi seorang penulis hebat seperti sang ibu. Tetapi sayangnya semua itu harus ia korbankan hanya karena perasaan sedih, marah, kecewa, sertu putus asa yang membelenggu di dalam dirinya. Yang membuat ia tidak lagi menginginkan apapun selain mengakhiri hidupnya.

Dan semua itu berawal sejak kejadian tiga bulan yang lalu. Kejadian paling pilu yang menimpa ayah dari seorang gadis bernama Khadijah Terung yang mana ia sendiri merupakan sahabatku. Hari itu, ayahnya yang bernama Sulaiman, yang ketika itu terlilit hutang bermilyar-milyaran, dibunuh oleh sekawanan orang-orang suruhan. Dari desas-desus yang ku dengar, katanya karena ayahnya tidak menepati janji untuk membayar hutang. Alhasil beliau dibunuh dan mayatnya di buang begitu saja di sebuah hutan yang jaraknya tidak terlalu jauh dari kampung kami. Untunglah Pak Suto--yang saat itu tengah mencari kayu di hutan---menemukan seorang laki-laki terbujur mengenaskan dengan darah disekujur tubuhnya. Tentu saja yang dilakukan Pak Suto saat itu adalah memanggil warga setempat untuk kemudian bersama-sama menggotong jasad Pak Gerald---ayah Khadijah.

Sedang khadijah, yang saat itu baru pulang sekolah langsung menangis seraya berlari masuk ke dalam rumah. Dengan tangan yang bergemetar, tubuh ayahnya yang penuh luka luka itu ia guncang, berharap laki laki yang sudah berumur kepala empat itu kembali membuka kedua matanya.

Bibirnya pun tak mau kalah, ia ikut berteriak seraya berkata, "Ayah jangan tinggalkan aku!"

Alhasil karena aksinya, para tetangga menatapnya iba. Tak sedikit pula dari mereka yang ikut meneteskan air mata melihat pemandangan itu. Bahkan, aku yang ketika itu duduk di sebelahnya sembari mencoba untuk menenangkan dirinya, ikut menangis melihat Khadijah yang biasanya selalu ceria berubah sangat menyedihkan.

Selepas dari kejadian itu, Khadijah berubah menjadi sosok pendiam. Tubuhnya kurus karena kurang makan. Hari-harinya yang dulu penuh tawa kini hanya ia habiskan di dalam kamar. Duduk di tepi ranjang, seraya menatap kosong keluar jendela. Begitu seterusnya. Sampai-sampai aku dan Bi Sumi---pembantu di rumahnya---kewalahan membujuknya untuk makan atau pergi ke sekolah.

"Tidak mau, Tha. Aku tidak lapar. Aku cuma mau ayah pulang," adalah kalimat yang selalu ia ucapkan tiap kali aku membujuknya untuk makan. Kalimat yang selalu berhasil membuat bibirku bungkam. Sama seperti sekarang, aku kembali terdiam ketika ia mengucapkan kalimat itu, yang entah sudah keberapa ratus kali diucapkannya. Tetapi, kali ini ia berujar dengan diiringi tangis paling pilu yang pernah ku dengar. Dan yang bisa ku lakukan hanya mengelus punggungnya, berharap dengan begitu ia sedikit merasa lebih tenang.

"Sudahlah, Khadijah. Kau tak perlu menangis. Kau masih memiliki aku. Hidupmu masih panjang, tidak baik bila hanya kau habiskan untuk meratapi kesedihanmu. Ingatlah bahwa bukan hanya kau, tetapi setiap orang pasti akan merasakan kehilangan. Karena yang namanya manusia, akan kembali pulang ke sisi sang pencipta. Begitu pula dengan aku, kau, dan semua makhluk yang ada di dunia."

Khadijah terdiam. Dahinya sedikit berkerut, tampak berpikir. Entah apa yang ada di kepalanya saat ini, tetapi sedetik kemudian ia mengucapkan kalimat yang membuatku melongo tak percaya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline