Sebenarnya sudah tak asing jika terdengar kata “Politisasi Agama” dalam pemilu. Itu sudah sangat tidak awam bagi sebagian orang, terutama bagi kaum muda yang berfikir secara kritis dan intensitas terhadap politik yang menyangkut agama. Politisasi agama sudah terjadi sejak pemilu 2014, dimana adanya penyebaran isu-isu terkait agama yang diarahkan kepada kandidat tertentu untuk mengurangi elektabilitas mereka. Bahkan yang cukup membludak adalah waktu pemilihan Gubernur DKI Jakarta dimana adanya politisasi agama yaitu Kandidat Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) tuduhan penistaan agama yang digunakan secara luas dalam kampanye untuk memobilitasi pemilih muslim dan menentang Ahok yang beragama non muslim.
Pemilu 2024 di Indonesia menjadi momentum penting dalam menentukan arah dan kepemimpinan negara ke depan. Namun, di tengah dinamika politik yang semakin kompleks, salah satu isu yang terus mencuat adalah politisasi agama. Bagaimana pandangan pemilih muda terhadap fenomena ini? Apakah mereka menerima atau menolak politisasi agama dalam konteks pemilihan umum? Sebagian pemilih muda cenderung lebih skeptis terhadap politisasi agama. Mereka berpendapat bahwa agama itu seharusnya tetap berada dalam ranah pribadi dan spiritual, bukan untuk dijadikan mainan ataupun alat politik. Kebanyakan para pemilih muda lebih mendukung kandidat yang menawarkan program konkret dan juga solusi nyata untuk masalah nasional seperti perekonomian,pendidikan, dan juga lingkungan daripada mengandalkan retorika agama.
Akan tetapi ada juga sebagian pemilih muda yang malah mendukung adanya politisasi agama, dimana mereka setuju tergadap adanya politisasi agama dalam pemilu. Mereka yakin bahwa nilai-nilai agama itu penting untuk diintegrasikan dalam kebijakan publik dan pemerintahan. Kebanyakan pemilih muda yang pro terhadap politisasi agama dalam pemilu ini karena adanya pengaruh media sosial dan juga digital karena pengaruh dalam media sosial terhadap pola pikir generasi muda itu sangat mudah mempengaruhi mereka.
Pemilih muda, sebagai bagian integral dari masyarakat yang berpendidikan dan terkoneksi dengan media sosial, memiliki kecenderungan untuk lebih kritis terhadap politik dibandingkan generasi sebelumnya. Mereka cenderung menilai calon berdasarkan visi, misi, dan kebijakan yang proposional, daripada sekadar identitas agama atau etnis. Meskipun demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa politisasi agama tetap memiliki daya tarik tertentu bagi sebagian pemilih muda, terutama mereka yang kuat dalam keyakinan agamanya.
Dampak Bagi Pemilih Muda
Politisasi agama dalam pemilu dapat memiliki dampak negatif yang signifikan, terutama bagi keberagaman dan toleransi di masyarakat. Sentimen agama yang dieksploitasi dalam politik dapat memicu polarisasi sosial, meningkatkan konflik antargolongan, dan mengurangi ruang untuk diskusi yang rasional dan berbasis fakta. Pemilih muda yang peduli akan dampak ini cenderung menolak praktik politisasi agama karena melihatnya sebagai ancaman terhadap stabilitas sosial dan keadilan, yang menunjukkan bahwa pemilih muda tidak homogen dalam pandangan mereka. Perbedaan ini mencerminkan keragaman dalam cara generasi muda memaknai hubungan antara agama dan politik. Kondisi seperti ini juga menantang para politisi untuk memahami dinamika yang ada dan juga mengadopsi pendekatan yang lebih inklusif dan juga sensitive terhadap aspirasi pemilih muda.
Tantangan bagi Pemilih Muda
Tantangan utama bagi pemilih muda dalam menghadapi politisasi agama di Pemilu 2024 adalah dilema antara loyalitas terhadap nilai-nilai agama pribadi dan kebutuhan untuk memilih pemimpin yang mampu memajukan kepentingan nasional secara adil dan berkelanjutan. Di Indonesia, agama sering kali menjadi bagian integral dari identitas personal dan kelompok, yang tercermin dalam pilihan politik seseorang. Namun, pemilihan berdasarkan identitas agama saja bisa menjadi sumber polarisasi dan konflik sosial yang merugikan. Pemilih muda sering merasa tertarik pada pemimpin yang secara konsisten mempromosikan nilai-nilai moral dan etika yang sejalan dengan ajaran agama mereka. Namun, dalam realitas politik, sering kali terjadi bahwa para kandidat menggunakan retorika agama untuk memenangkan dukungan, tanpa jaminan bahwa mereka benar-benar akan mengimplementasikan kebijakan yang mendukung keadilan sosial dan kemajuan nasional secara menyeluruh.
Dengan demikian, pemilih muda dihadapkan pada dilema moral dan politik yang kompleks. Mereka harus mengambil keputusan yang tidak hanya mempertimbangkan nilai-nilai agama pribadi mereka tetapi juga dampak dari pilihan mereka terhadap masyarakat luas. Beberapa pemilih muda mungkin merasa terbebani oleh harapan untuk memilih berdasarkan idealisme agama mereka, sementara yang lain mungkin merasa tertantang untuk menyeimbangkan antara kepentingan pribadi dan nasional yang lebih besar.
Selain itu, pengaruh dari kelompok sosial dan media juga bisa memperumit proses pengambilan keputusan pemilih muda. Informasi yang tersebar luas di media sosial atau panduan dari tokoh agama dan keluarga dapat mempengaruhi persepsi mereka terhadap kandidat tertentu. Oleh karena itu, mendidik pemilih muda tentang pentingnya penilaian rasional dan independen terhadap calon serta partai politik menjadi krusial dalam membangun masyarakat yang lebih demokratis dan inklusif.