"Saya merasa curang jika tidak menyerang pakai kekerasan atau adu kekuatan secara gentle/ksatria dengan laki-laki lain. Sekarang saya merasa gak cowok banget lah kalau ga pakai kekerasan dan baku hantam"
Membaca sebuah potongan kalimat diatas membuat saya semakin gusar. Sadarkah kalian mengetik kalimat seperti itu wahai lelaki? Cerminan potongan kalimat tersebut menunjukkan bahwa sudah terlihat jelas kalau laki-laki itu keren jika adu kekuatan. Laki-laki itu juga terlihat gentle dan keren kalau bawa senjata dan berbuat onar di lingkungan sekitar.
Lantas, jika tidak berbuat demikian maka jiwa kelaki-lakiannya atau maskulinitas dalam diri seorang laki-laki dipandang rapuh atau jatuh. Laki-laki seakan-akan terlihat lembek jika tidak memiliki kekuatan yang harus disaksikan kepada khalayak dan merasa bahwa yang kuat dan kekar itulah yang menang.
Sebenarnya kejadian seperti ini mirip sekali dengan fenomena Toxic Masculinity. Kebetulan juga sudah pernah saya bahas dalam topik Toxic Masculinity beberapa hari yang lalu tayang di artikel Kompasiana (kalau misalnya belum sempat baca dan pengen mampir berikut saya sertakan tautannya di sini, silahkan rekan kompasianer dapat mengaksesnya dan membacanya lebih lanjut).
Kebetulan saya menyoroti hal ini berdasarkan pengalaman yang saya alami sampai dengan saat ini. Tetapi, hal ini tiba-tiba mencuat dan ramai perbincangannya di media sosial Twitter yang kebetulan menyentil soal rapuhnya"maskulinitas" berdasarkan tanggapan sebuah tangkapan layar menyoal fragile masculinity dan mendapat cibiran dari netizen terkait hal ini.
Laki-laki yang memiliki jiwa maskulinitas yang rapuh merasa bahwa dirinya ini cenderung mengambil alih kendali. Dia harus merasa dirinya berkuasa, memegang kontrol yang penuh, dominan, agresif, abusif dan manipulatif.
Sehingga jika terjadi berkelanjutan maka laki-laki dianggap tidak bisa menghargai lawan jenisnya atas segala pendapatnya, permintaannya dan semuanya. Karena wanita merasa direndahkan oleh laki-laki.
Jika terus berlanjut maka akan memunculkan hubungan yang tidak sehat yang mana ini juga bisa jadi bibit-bibit toxic relationship maupun toxic masculinity. Masalah ini juga merembet dan menjalar kemana-mana.
Bisa dari komunikasi yang kurang baik, cuek bebek, percikan konflik kecil hingga konflik besar yang berujung pada perselingkuhan dan perceraian. Sungguh menyesakkan.
Maskulinitas yang dianggap rapuh ini membuat seorang laki-laki tidak ingin dianggap lemah dihadapan orang lain dan memiliki kecenderungan untuk menyerang lawan jenisnya. Istilah ini kerapkali disebut juga dengan fragile masculinity atau rapuhnya maskulinitas seorang laki-laki.
Dengan memiliki sifat seperti ini bisa berdampak buruk khususnya dalam jangka panjang, salah satunya menimbulkan kekerasan rumah tangga bahkan berujung perceraian jika sebelumnya sudah terikat dalam tali pernikahan.