Kebijakan Sang Ayah
Cerpen oleh: Renaldy Satio
Dahulu kala, hiduplah seorang pria yang sangat bijaksana, sang walikota terhormat di sebuah desa kecil. Kebijaksanaannya dalam memerintah dan pandangannya dihormati. Pencari nasihat membanjiri datang kepadanya, karena nasehatnya memiliki pengaruh yang besar.
Namun, putranya terkena penyakit kemalasan, menghamburkan hari-harinya dalam tidur dan hura-hura. Tidak ada nasihat atau ancaman yang dapat membangkitkannya dari kebiasaannya yang pemalas. Seiring berjalannya waktu, wajah sang bijak semakin terukir oleh tanda-tanda penuaan, dan ia mulai khawatir akan masa depan putranya. Sadar bahwa ia harus memberikan putranya sesuatu agar ia dapat mengurus dirinya sendiri dan keluarganya di masa depan, sang bijak memanggil anaknya pada suatu hari.
Dengan serius, ia berkata, "Anakku, engkau telah melewati ambang batas masa kanak-kanak. Genggamlah tanggung jawab dan carilah pencerahan. Temukan tujuan sejati yang akan membimbing hari-harimu, dan engkau akan hidup dengan kebahagiaan dan sukacita selamanya." Dengan kata-kata itu, ia memberikan seorang anak tas. Dengan penuh semangat, anak itu membuka isinya, matanya membesar melihat empat set pakaian, masing-masing sesuai dengan musim yang berbeda.
Di samping itu, terdapat persediaan makanan mentah, sayuran hijau, uang secuil, dan sebuah peta. Suara sang ayah menggema, "Berangkatlah dalam sebuah pencarian, anakku, untuk mengungkapkan harta tersembunyi. Peta di hadapanmu akan menerangi jalan. Berangkatlah dan temukan takdirmu."
Sang putra, terpesona oleh tujuan baru ini, untuk pertama kalinya memahami kebijaksanaan ayahnya. Dengan penuh semangat, ia memulai perjalanan pada keesokan harinya, menjelajah jauh melintasi batas-batas, menyeberangi hutan, dataran tinggi, dan pegunungan.
Hari berganti menjadi minggu, dan minggu berganti menjadi bulan, sementara pertemuan dengan jiwa-jiwa yang berbeda-beda memayungi perjalanan hidupnya. Ada yang menawarkan pertolongan berupa makanan dan tempat berlindung, sementara yang lain, digerakkan oleh niat yang lebih gelap, mencoba menipunya. Dalam persinggahan ekspedisi ini, ia merasakan nikmatnya nektar yang paling manis dan racun yang pahit dari sifat manusia. Musim berganti, pemandangan berubah, dan ketika cuaca buruk menyerang indera-inderanya, ia istirahat hingga langit cerah kembali.
Akhirnya, setelah setahun berkelana, ia tiba di tujuannya---tebing curam. Di bawah rindangnya pohon yang menjulang, peta menunjukkan tempat persembunyian harta. Dengan tangan penuh semangat, ia menggali tanah dan mencari di sekitar, di bawah, dan di atasnya, namun tak menemukan apa pun. Dua hari ia habiskan dengan mencari harta yang sia-sia, namun pada hari ketiga, lelah dan patah semangat, ia memutuskan untuk pulang dengan kekecewaan akan pilihan yang diambil ayahnya.
Dalam perjalanan pulang, perjalanan tersebut mengulangi polanya, dengan pergantian musim dan pemandangan yang indah. Namun, kali ini ia berhenti sejenak untuk menikmati mekar bunga di musim semi dan tarian harmonis burung-burung di musim hujan. Setiap perhentian mengundang rasa syukur---pemandangan warna-warni yang mempesona atau malam-malam musim panas yang tenang. Kehabisan persediaan memaksa ia belajar keterampilan bertahan hidup, mempertajam kemampuannya dalam berburu dan kerajinan mencukupi kebutuhannya sendiri.