Lihat ke Halaman Asli

Reysabel Nasywa Adjani

Mahasiswa Hubungan Internasional Universitas Jember

Transformasi Sistem Moneter Internasional: Dari Bretton Woods hingga Jamaica Agreement

Diperbarui: 30 Maret 2024   14:10

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Pada tahun 1930-an, upaya mulai dilakukan untuk menciptakan sistem moneter yang dapat mengendalikan ekonomi dunia secara lebih teratur. Pembentukan IMF (International Monetary Fund) dan World Bank merupakan bagian dari upaya untuk membantu pembangunan perekonomian global. Lalu terciptalah Sistem Bretton Woods di Bretton Woods, New Hampshire, tahun 1944 sebagai bentuk kerjasama negara-negara anggotanya.

Sistem Bretton Woods mengharuskan setiap negara anggota untuk menjalin kerjasama dengan IMF, dengan nilai mata uangnya diukur dalam bentuk emas dan dijadikan dolar AS (hanya US$ yang dikonversi dalam emas). Perlu diketahui bahwa perubahan nilai mata uang ini hanya bisa dilakukan setelah konsultasi dengan IMF. Sistem Bretton Woods dirancang untuk menjaga stabilitas nilai tukar dan berhasil membentuk keteraturan serta efektivitas dalam keuangan dan perdagangan internasional. Namun, setelah Perang Dunia II, Amerika Serikat menghadapi masalah dalam melindungi defisit neraca pembayarannya. Amerika Serikat melakukan perbaikan dengan pemgembangan mata uang mereka dan hal ini ditandai dengan transisi menuju sistem kurs mengambang, yang pada akhirnya mengakhiri sistem Bretton Woods ini.

Upaya dilakukan untuk memperbaiki sistem moneter global, dan tercapai suatu persetujuan yang dikenal sebagai Smithsonian Agreement. Smithsonian Agreement mencakup beberapa elemen kunci. Salah satunya adalah penentuan tingkat nilai tukar baru yang sejalan dengan devaluasi dolar terhadap emas. Selain itu, perjanjian ini juga menyerukan kepada anggota IMF untuk mempertahankan patokan nilai tukar dengan menggunakan selisih yang lebih besar daripada sistem Bretton Woods sebelumnya. Namun, upaya ini gagal karena puncak pertumbuhan Eurodollar dan devaluasi dollar kedua. Karena pertumbuhan Eurodollar dan devaluasi dollar kedua, situasi menjadi tidak stabil dan pada akhirnya menyebabkan kegagalan Smithsonian Agreement ini. 

Pada tahun 1978, ditetapkan Jamaica Agreement yang menciptakan sistem perjanjian nilai tukar yang lebih fleksibel, di bawah rezim pengambangan yang dilegalisir. Sistem ini lebih pragmatis dan memungkinkan penyesuaian kebijakan domestik dengan kondisi keuangan negara dalam sistem kurs mengambang.

Setelah kegagalan Smithsonian Agreement dan sebelum Jamaica Agreement, ketidakpastian baru mendominasi situasi moneter internasional. Semakin banyak orang kehilangan keyakinan pada efektivitas perjanjian moneter internasional global. Banyak yang mulai melihat kerja sama regional atau sub-regional dalam urusan moneter lebih menarik dan menguntungkan. Pada Maret 1973, enam negara EEC sepakat untuk melakukan pengapungan bersama mata uang mereka yang kemudian berkembang menjadi Sistem Moneter Eropa pada tahun 1979.

Kekurangan sistem Bretton Woods menyadarkan banyak pihak bahwa perlu dijelajahi sistem moneter internasional baru yang mengakomodasi perubahan ekonomi global. Untuk ini, dibentuklah Komite Dua Puluh (C-20) pada Juli 1972 untuk merumuskan reformasi sistem moneter internasional. Namun, sebelum C-20 menyelesaikan laporannya pada Juni 1974, kenaikan dramatis harga minyak pada 1973-1974 memunculkan ketidakpastian baru dalam ekonomi global.

Ketidakpastian ini membuat banyak pemerintah enggan melakukan reformasi sistem moneter internasional. Sebagai gantinya, mereka mengambil langkah-langkah ad hoc sementara, seperti fasilitas minyak dari Dana Moneter Internasional. Nilai tukar mengalami fluktuasi liar pada tahun 1973-1975, namun dollar akhirnya menetap pada musim gugur di tahun 1975. Meskipun demikian, proses reformasi sistem moneter internasional terhenti, dan fokus beralih pada menghadapi dampak kenaikan harga minyak.

Jamaica Agreement, disepakati pada Januari 1976 dan diratifikasi oleh Dewan Gubernur Dana Moneter Internasional (Fund's Board of Governors) pada April 1978, mencatat beberapa perubahan signifikan dalam sistem moneter internasional. Di antaranya, pengapungan nilai tukar mata uang resmi dilegalkan, dengan Dana Moneter Internasional diberi wewenang untuk memantau kebijakan nilai tukar. Peran emas dalam sistem moneter dikurangi secara substansial, sementara Special Drawing Rights (SDR) menjadi aset cadangan utama. Selain itu, Dana Moneter Internasional dapat menggunakan mata uang anggota dalam operasi dan transaksi. Perjanjian ini juga mencakup peningkatan kuota serta akses anggota ke fasilitas, seperti fasilitas pembiayaan kompensatori yang diberlakukan secara lebih longgar. Salah satu poin penting adalah Jamaica Agreement secara resmi mengizinkan anggota Dana Moneter Internasional untuk "mengambangkan" nilai tukar mata uang mereka, yang sebenarnya telah mereka praktikkan sejak Juni 1972 tetapi dengan campur tangan pemerintah. Peristiwa-peristiwa setelah keruntuhan Sistem Bretton Woods pada 1971 mendorong pandangan bahwa nilai kurs mengambang lebih efektif daripada sistem nilai tukar tetap, terutama karena sulitnya menerapkan kebijakan penyesuaian domestik yang konsisten dalam sistem nilai tukar tetap.

Sejarah sistem moneter internasional menandai pergeseran besar dari era Sistem Bretton Woods menuju era yang lebih fleksibel dan responsif setelah disepakatinya Jamaica Agreement. Perubahan ini mencerminkan upaya bersama untuk mengatasi ketidakpastian dan tantangan yang dihadapi dalam mengelola ekonomi global. Dengan dilegalkannya pengapungan nilai tukar mata uang dan pengurangan peran emas, serta peningkatan peran SDR, kerangka kerja baru yang lebih fleksibel dan pragmatis mulai terwujud.

Meskipun demikian, berbagai ketidakpastian dan tantangan, termasuk krisis minyak dan fluktuasi nilai tukar yang liar, menyulitkan upaya untuk mencapai konsensus tentang langkah-langkah reformasi yang lebih komprehensif. Namun, momentum untuk perubahan telah diciptakan, dan komitmen untuk menghadapi dinamika ekonomi global dengan cara yang lebih adaptif dan responsif menjadi semakin kuat.

Dengan demikian, Jamaica Agreement bukanlah akhir dari perjalanan ini, tetapi merupakan langkah penting menuju sistem moneter internasional yang lebih sesuai dengan tuntutan zaman. Tantangan selanjutnya adalah untuk terus beradaptasi dengan perubahan ekonomi global yang terus berubah, sambil memastikan bahwa sistem keuangan internasional tetap stabil, inklusif, dan berkelanjutan bagi semua negara anggota.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline