Lihat ke Halaman Asli

Reynal Prasetya

TERVERIFIKASI

Broadcaster yang hobi menulis.

Sebuah Permata yang Tersisa di Gaza

Diperbarui: 16 November 2023   06:45

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Julia (Sumber: media sosial akun X/@SoftWarNews)

Saat suara peluru terus berdesingan ditembakan oleh para tentara dan suara ledakan bom yang terus terdengar di beberapa titik, aku hanya bisa berlindung di bawah lorong yang pengap, gelap dan penuh sesak bersama dengan para warga yang sedang mengungsi.

Suasananya kala itu benar-benar kacau dan memilukan. Aku merasa seperti sedang hidup di dunia yang sama sekali belum pernah ku tinggali sebelumnya. Hampir semua orang memeluk dan memegangi tangan satu sama lain. Mereka berusaha saling menguatkan. Tak ada yang tersisa.

Rumah Ibadah, Sekolah, Kampus, Rumah Sakit, Jembatan dan Taman Kota kini sudah rata dengan tanah. Yang tersisa hanyalah puing-puing dan ribuan mayat yang bergelatakan dimana-mana. Aku melihat dan mendengar semua itu dengan mata dan telingaku sendiri.

Kalau saja diharuskan untuk memilih, aku lebih baik tidak ingin melihatnya sama sekali, sebab setiap kali aku meilhatnya, dada ini langsung terasa sesak, mata ku langsung memerah, hingga tak sadar air yang jatuh dari pelupuk mata ini mengering dipipi, tersorot oleh cahaya matahari dan udara kota yang begitu panas.

Aku yakin, aku sedang tidak berada di Neraka. Aku menganggap tempat ini adalah Surga bari orang-orang yang tidak bersalah. Surga bagi kedua orangtua yang mati syahid meninggalkan anak semata wayang nya yang kini menjadi yatim piatu. Surga bagi seorang ayah yang tertimpa reruntuhan meninggalkan istrinya yang kini menjadi janda. Surga bagi pemuda yang terhunus peluru tajam yang rela menjadi ‘martir’ untuk tanah airnya. Surga bagi seorang bayi yang baru saja melihat dunia dan harus kembali menutup mata untuk selama-lamanya.

Selama hampir 18 hari berada di kota ini, itulah pemandangan sehari-hari yang biasa aku saksikan. Jujur saja, aku tak kuasa melihatnya. Namun tugas yang mengharuskan ku untuk meliput semua kejadian dilapangan dan melaporkannya segera di media cetak, membuat aku perlu pura-pura tegar selama bertugas, padahal sebetulnya hati ini sudah keterlaluan sakit, teriris-iris bahkan hampir mati rasa saking terlalu seringnya.

Julia malah terlihat lebih tegar dan kuat. Padahal gadis kecil itu baru saja menjadi yatim piatu setelah orangtuanya ditemukan tergeletak tak bernyawa, dibalik puing-puing rumahnya yang sudah luluh lantak akibat terkena serangan udara. Untungnya gadis kecil yang baru saja pintar bicara itu selamat, hanya ada luka ringan di dahi dan lecet saja di beberapa bagian tubuhnya.

Aku menyaksikan langsung bagaimana Julia digendong oleh salahseorang relawan yang sedang bertugas, untuk kemudian diungsikan dan diberi bantuan medis di Rumah Sakit Al-Shifa. Kebetulan siang itu aku sedang bertugas meliput disana.

Dimana sehari sebelumnya, disaat orang-orang sedang istirahat dan beberapa perempuan hamil serta anak-anak sedang mendapat bantuan medis, peluru kendali itu jatuh menghantam gerbang Rumah Sakit. Cahaya langit yang gelap tiba-tiba berubah warna menjadi merah jingga. Kepulan asap tebal hitam itu menutupi hampir seluruh gedung. Sebagian orang berlarian, kecuali para Dokter yang terus bekerja siang malam. 13 orang tewas dalam serangan brutal malam itu.

Tareq Azzoum, kawanku dari media Aljazeera menangis melihat kejadian ini. Sambil tersedak karena tak sengaja menelan air matanya, ia berkata dalam bahasa Inggris, “Oh my friend, this is so cruel. we must not remain silent watching heartbreaking events like this. this is an extraordinary war crime.”

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline