Lihat ke Halaman Asli

Reynal Prasetya

TERVERIFIKASI

Broadcaster yang hobi menulis.

Demo Omnibus Law: Kok Sampai Segitunya, sih?

Diperbarui: 10 Oktober 2020   12:14

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Suasana Halte MRT Bundaran HI yang terbakar di Jalan M.H Thamrin, Jakarta Pusat, Kamis (8/10/2020) Foto: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Yang terpenting adalah pemantik. Yang dilakukan oleh mereka yang mempunyai kepentingan adalah memanfaatkan momentum. Ketika momentum itu tiba, dengan cerdik mereka menyusup dan menunggangi para demonstran untuk memuluskan tujuan politik mereka dengan cara membuat kericuhan dan menggoyang stabilitas politik sebagai bentuk perlawanan terhadap kebijakan pemerintah.

Terus terang saya tidak ingin memposisikan diri sebagai pendukung pemerintah ataupun oposisi yang selalu kontra dengan pemerintah. Apalagi saya tidak begitu mengerti dan betul-betul memahami substansi tentang RUU Cipta Kerja yang membuat heboh masyarakat akhir-akhir ini.

Saya bukan pengamat politik, dan saya juga tidak mengerti tentang hukum. Jadi, saya hanya ingin berbicara sebagai individu yang mempunyai keresahan tersendiri, karena hampir setiap hari disuguhi berita tentang perkembangan sosial politik yang terjadi di negeri ini. 

Jujur saja, hingga hari ini saya belum membaca keseluruhan isi dokumen Omnibus Law RUU Cipta Kerja yang berisikan 905 halaman itu. Jadi saya lebih memilih untuk menahan diri agar tidak cepat-cepat mengeluarkan kritik, penolakan, cemoohan, ataupun hujatan, sama seperti yang dilakukan oleh mayoritas orang di media sosial.

Karena untuk apa teriak-teriak dengan lantang, sok-sokan mengkritik dengan keras, tapi kita tidak mengerti sama sekali tentang subtansi yang kita persoalkan itu?

Ketika niat meluruskan, malah dibilang pro pemerintah. Ketika memberikan keterangan bahwa apa yang beredar di media sosial itu belum tentu benar, malah dibilang tidak mendukung rakyat. Terus saya harus bagaimana?

Percuma saja, orang yang bermasalah secara psikis tidak akan bisa melihat persoalan secara jernih dan objektif. Mereka hanya mengambil kesimpulan berdasarkan emosi, dan apa yang diyakini berdasarkan validitas kelompok.

Sehingga tidak heran, sesuatu yang sebenarnya palsu, rekayasa, atau hoax pun bisa mereka akui sebagai sebuah kebenaran. Sulit sekali untuk mengajak mereka sejenak menggeser sudut pandangnya agar bisa sedikit meluas. Sehingga bisa berdiri objektif dan melihat realitas yang sesungguhnya.

Fenomena itu lazim disebut sebagai, "Bandwagon Effect". Sederhananya bisa diartikan sebagai fenomena ikut-ikutan, karena melihat banyak orang juga melakukannya. Maka ketika banyak orang melakukan hal yang sama, orang yang terkena Bandwagon Effect akan mengkonfirmasi bahwa apa yang dia lakukan adalah sebuah kebenaran. Karena mayoritas orang melakukannya, mereka jadi meyakini berada di pihak yang benar dan apa yang dilakukannya itu merupakan tindakan yang tepat.

Orang yang kritis dan objektif tidak akan mudah terkena Bandwagon Effect, karena orang-orang yang rentan terserang "wabah" ini adalah mereka yang cenderung hanya melihat dinamika politik dari kulit luarnya saja. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline