Dalam lingkungan kerja, yang namanya konflik internal pasti kerap terjadi. Perseteruan dan kesalahpahaman antara atasan dan bawahan sudah menjadi hal yang biasa dalam sebuah pekerjaan.
Sehingga tidak heran apabila bawahan sebagai pihak yang tidak mempunyai kuasa yang memadai, banyak yang memilih mengundurkan diri ketimbang harus terus menerus merasa dirugikan dan tersakiti karena ketidakadilan atau perlakuan yang tidak wajar dari atasannya.
Seperti yang baru-baru ini mencuat ke publik, Kepala Satuan Sabhara Polres Kabupaten Blitar AKP Agus Hendro Tri Susetyo memutuskan mendatangi Mapolda Jawa Timur pada Kamis 1 Oktober 2020 untuk mengajukan surat pengunduran diri dengan alasan tidak tahan lagi dengan sikap atasannya yang arogan dan kerap melontarkan makian dan kata-kata kasar yang tidak pantas kepada dirinya.
AKP Agus memutuskan untuk mengundurkan diri dari Institusi Kepolisian dan mengajukan pensiun dini tanpa menuntut apapun. Sebagai manusia yang memiliki perasaan, dirinya merasa lebih baik mengundurkan diri daripada terus menerus direndahkan dan diperlakuan semena-mena oleh atasannya.
"Mohon ma'af saya terpaksa mengundurkan diri. Percayalah kita masih bisa makan dengan garam, tapi kita mulia dihadapan Allah. Mohon ma'af kalau saya agak emosi, mohon ma'af". Ujar AKP Agus sambil menahan tangis dan menyampaikan perasaannya dengan sedikit emosi kepada para wartawan.
AKP Agus juga menyayangkan sikap atasannya yang selalu mengeluarkan makian dan kata-kata kasar yang tidak pantas apabila sedang menegur anggotanya. Padahal menurutnya, apabila anggotanya bersalah tinggal dibina saja, atau diganti bukan malah dimaki-maki.
"Alasan saya mengundurkan diri karena saya tidak terima. Hati saya tidak bisa menerima selaku manusia dengan arogansi Kapolres Saya. Sebenarnya kalau salah kan tinggal dibina, atau diganti bukan dimaki terus terusan." Ujar AKP Agus.
Melihat keadaan AKP Agus yang merasa direndahkan seperti itu, penulis pun jadi ikut merasa bersimpati kepada perwira pertama polisi ini. Dari caranya menyampaikan uneg-uneg dan alasan pengunduran dirinya, penulis merasa bahwa AKP Agus benar-benar terlihat tersakiti.
Karena sebagai orang yang pernah menjadi bawahan, penulis juga pernah merasakan pengalaman yang demikian. Umpatan dan makian kasar yang terlontar dari mulut seorang atasan kadang begitu menyakitkan, menyayat hati hingga luka yang tertinggal begitu sulit untuk disembuhkan dan pulih kembali.
Sakit hati lebih sulit disembuhkan daripada sakit fisik. Maka tak heran ketika hati seseorang sudah tergores, ia bisa melakukan hal apapun, bahkan menghilangkan nyawa orang yang sudah menyakitinya itu.
Ketika seorang bawahan sudah berusaha sedemikian maksimal mengerjakan tugas dari seorang atasan, maka wajar saja apabila dirinya ingin dihargai dan diapresiasi. Tapi ketika yang didapatkan justru adalah umpatan dan makian, maka tak heran banyak bawahan yang lebih memilih mengundurkan diri daripada terus menerus tak dihargai.