Ketika mendengar kabar bahwa, Sapardi Djoko Damono telah wafat, pada Minggu (19/7) kemarin, sontak saya pun ikut merasa kehilangan.
Sejak berita wafatnya itu ramai menghiasi jagat media maya, saya jadi mulai tertarik untuk menelusuri lebih dalam seperti apa kisah hidup beliau.
Saya masih ingat, kalau saya punya satu koleksi buku tentang kisah hidupnya yang di tulis oleh penyair juga, bernama Bakdi Soemanto.
Judul buku nya adalah, "Sapardi Djoko Damono, Karya dan Dunianya" terbitan tahun 2005 yang saya beli di Gramedia beberapa tahun lalu.
Terus terang sejak buku itu di beli, saya sama sekali belum pernah membacanya. Hanya baru baca-baca sekilas, sampul cover-nya saja. Maka setelah tahu bahwa eyang Sapardi telah wafat, saya pun terdorong untuk mulai membaca buku tentang kisah hidupnya itu.
Ternyata kisah hidupnya pun tak kalah menarik dari sajak-sajak maupun puisi-puisinya.
Entah itu tentang masa kecilnya yang suka kluyuran, pengalaman pertamanya mulai menulis, hingga ketika ia mendapat penghargaan.
Pada masa kecilnya, beliau memang sudah merasakan bagaimana rasanya hidup dalam penjajahan. Hobinya yang suka kluyuran itu mungkin di wariskan dari ayahnya yang suka keluyuran juga waktu itu.
Bukan berarti Ayahnya adalah seorang pejuang atau gerilyawan, hal itu dilakukan karena untuk menghindari penangkapan oleh serdadu Belanda.
Pada masa itu, Belanda memang sedang "gila-gilanya". Mungkin pusing menghadapi ulah gerilyawan-gerilyawan yang bergerak gesit pada malam hari, memasang bom, membakar rumah orang-orang yang pro Belanda dan menolak uang republik.
Ayahnya pun ikut menghilang dari kota, karena kalau tidak, maka akan di tangkap oleh Londo Mendem, (Belanda Mabuk). Sebuah istilah yang di pakai orang Jawa untuk menamakan makhluk berkulit putih yang telah lama merampok kekayaan Indonesia.