Dalam budaya remaja, yang namanya pinjam meminjam sudah sangat umum dan sering di lakukan. Apalagi sesama teman, kadang bisa sampai saling meminjam barang-barang pribadi.
Karena biasanya, jika seorang teman sudah ngebet ingin pinjam sesuatu, kita kadang cukup sulit untuk menolak, apalagi yang meminjam kebetulan adalah teman dekat kita sendiri.
Wah jadi dilema, karena tak jarang ketika tidak dipinjamkan, kita akan mudah sekali dicap sebagai, "Teman yang enggak asyik!". Atau bahkan mungkin tidak lagi dianggap sebagai teman, tatkala kita sudah tidak lagi sesuai dan sejajar dengan budaya yang biasa mereka lakukan.
Tentu tidak ada larangan juga, meminjam wajar-wajar saja, kita sebagai makhluk sosial, pasti membutuhkan satu sama lain.
Namun tak jarang, yang meminjam malah menjadi lupa diri, dan seakan-akan apa yang dipinjam adalah sudah menjadi miliknya sendiri.
Bagaimana tidak kesal, ketika suatu barang yang dipinjam oleh seorang teman, berakhir dalam keadaan rusak, hilang ataupun tidak terawat dengan baik.
Seperti itukah sosok teman sejati?
Menjadi teman yang asyik bukan berarti kita memberikan toleransi kepada teman yang bersikap semena-mena dan semaunya.
Teman yang asyik adalah mereka yang justru tidak hanya peduli pada kebutuhan dirinya sendiri, namun juga peduli pada kebutuhan orang lain.
Tak jarang, saya seringkali menemukan curhatan dan ungkapan rasa kecewa seseorang di media sosial kepada temannya. Ketika ia sudah berusaha menjadi teman yang asyik, menjadi orang yang paling baik, namun semua kebaikannya seringkali tak pernah dihargai.
Kalau begitu, kita sesekali perlu menjadi teman yang enggak asyik. Kita seringkali lupa bahwa kita terlalu ingin menyenangkan semua orang, namun lupa terhadap kebahagiaan diri kita sendiri. Tidak masalah jika kita di anggap enggak asyik, karena asyik bagi mereka, belum tentu asyik bagi kita sendiri.