Lihat ke Halaman Asli

Reynaldo

Techno, Football enthusiast

Sepak Bola yang Tidak Lagi Menyenangkan

Diperbarui: 7 Oktober 2024   13:51

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bola. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pada 22 September 2024 lalu, Arsenal berhasil menahan Manchester City 2-2 di Etihad dengan banyak pundit mengategorikan permainan Arsenal dengan "Dark Art". Bahkan dalam beberapa kesempatan, reels arsenal sebagai pengguna dark art menggema di beberapa platform media sosial seperti instagram, thread dan lain sebagainya. Sebagian besar mengkritik dan tidak sedikit yang menghina Arsenal dengan pakem tersebut. Dark Art Arsenal dipahami sebagai permainan full bertahan dengan low block rendah yang mengakibatkan pemain-pemain City tidak dapat menembus pertahanan Arsenal. Dulu hal ini lazim digunakan oleh tim-tim yang sedang dalam posisi tertinggal baik itu skor, permainan maupun jumlah pemain. Namun yang menjadi menarik adalah banyaknya pundit dan penggemar sepakbola yang tidak menyukai gaya permainan ini. Gaya ini cenderung membosankan dan mengesankan pemain atau tim lawan tidak niat bermain sepakbola. Hal yang diamini oleh kandidat kuat Ballon D'or tahun ini, Rodri.

Rodri dan pemain-pemain City, Spanyol ataupun Barcelona yang biasa bermain menyerang, indah atau apapun namanya yang menarik bagi sebagian orang selalu mengkritik klub lawan ketika tidak bisa menembus pertahanan mereka. Padahal kalau kita boleh berpendapat, hal itu wajar dilakukan mengingat betapa kuatnya tim-tim yang memainkan permainan tersebut. Namun, di sini lah masalah sebenarnya. Sepakbola kini sudah tidak menyenangkan lagi untuk disaksikan dan diikuti.

beberapa tahun ke belakang, kita masih melihat klub atau tim semenjana berhasil menjadi juara sebuah turnamen besar, seperti Yunani di Euro 2004, Porto di UCL 2004, ataupun fairy tale Leicester di liga Inggris 2016. Era-era tersebut sepakbola menjadi puncak dari keindahan. Tim-tim bermain lebih variatif, berani melawan arus maupun masih kentaranya "efek manusia"nya. Ada beberapa faktor yang menurut penulis mengakibatkan sepakbola tidak lagi menarik. Yang pertama, faktor "Pep Guardiola". Saat ini seluruh tim sepakbola kecanduan bermain dari kaki ke kaki ala Pep dengan inisiasi dari kiper, ke posisi pemain bertahan, utak atik gelandang/sayap dengan jumlah passing yang luar biasa banyaknya. Bahkan Bart Verbruggen kiper Brighton memiliki akurasi pass lebih tinggi ketimbang jumlah penyelamatan yang dia lakukan. Hal ini menjalar ke seluruh tim di Eropa dan bahkan Asia. Mungkin pembaca pernah meihat bagaimana kiper Persija , Andritany melakukan scorpion pass ke rekannya pada laga liga 1? Di italia, negara dengan sejarah pemain dan permainan bertahan juga sedang meggandrungi mode permainan seperti ini. Pada Euro 2021, Italia menjadi juara dengan permainan kaki ke kaki dengan ball possession yang tinggi di tiap pertandingan sebelum mentok melawan Spanyol sang pemilik identitas kaki ke kaki di Semifinal. Italia memang lolos dan menjadi juara, namun identitas mereka seolah hilang mengikuti tren permainan kaki ke kaki ala Pep ini.

Yang kedua adalah implementasi VAR, di satu sisi VAR menghasilkan permainan yang "jujur"dan "adil"kepada penikmat sepakbola. Namun adanya VAR seperti menghilangkan identitas sepakbola sebagai "permainan rakyat". Sepakbola adalah permainan rakyat, dimana si miskin dan si buruk rupa bisa berjaya, si "curang"bisa bertahta. Curang dalam hal ini adalah berhasil meraih peluang ketika terlihat kesempatan sekecil apapun. Dan inilah yang membuat sepakbola terasa seperti manusia. Cantik, jelek, kaya, miskin, patuh, curang bukan kah itu ada di setiap manusia?? Penulis tidak mengatakan menjadi curang adalah sebuah kebaikan, tidak. Namun melihat sepakbola lebih kepada kita berjuang, bermain dan meraih sesuatu sebagai manusia. Dengan adanya VAR, semua itu seperti hilang. Sepakbola menjadi seperti robot atau permainan game elektronik yang sudah terbaca dan hilangnya rasa kemanusiaan itu sendiri. Dengan adanya VAR, mungkin Maradona tidak akan menciptakan gol terbaik sepanjang masa melawan Inggris pada Piala Dunia 1986. Dengan adanya VAR, mungkin Inggris belum mendapatkan piala dunia. Dan dan yang lain-lain. Bukankah manusia adalah kontroversi, kita bukanlah robot yang segala sesuatunya tertata dengan penuh kalkulasi dan nir empati

Yang ketiga adalah terlalu banyaknya pertandingan. Musim ini fase grup UCL/UEL/Conference League menggunakan format baru yang membuat pertandingan lebih banyak. Sebelumnya FIFA juga membuat piala dunia antar klub yang akan dimulai pada 2025 di amerika utara. UEFA pun sejak 2019 membuat UEFA Nations League yang membuat pertandingan sepakbola menjadi lebih banyak. Ujungnya adalah uang dan uang. Kesempatan pemain untuk istirahat dan kita sebagai penikmat bola untuk istirahat pun berkurang. Pemain sendiri semusim bisa memainkan 70 pertandingan, jumlah yang dimana membuat salah satu pemain City, Nathan Ake berseloroh bisa membuat dia pensiun di usia 30 tahun. Piala Dunia 2026 pun akan membuat rekor peserta menjadi 48 tim yang membuat turnamen tersebut akan memainkan 102 pertandingan. Jumlah yang membuat kita jadi bosan bukan? Agaknya asosiasi sepakbola tidak belajar dari Marvel Entertainment yang terlalu banyak mengeluarkan film superhero sehingga sempat ada istilah "Superhero Fatigue". Kelelahan akibat terlalu banyak nonton film superhero. Bukan tidak mungkin kombinasi ketiga faktor itu akan mengakibatkan kita pecinta sepakbola mengalami "Footbal Fatigue". Kelelahan menonton dan menikmati sepakbola sebagai sarana hiburan, dan way of our living.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline