Kala itu, ketidaktauan menjadi suatu alasan tuk lahirnya sebuah keingintahuan . Rasa yang telah muncul dari dahulu namun tak tau apa sebenarnya alasan rasa ini ada. Pertanyaan yang kerap muncul dalam lintasan pikiran , menjadikan sebuah urgensi dalam diri yang tak bisa dipungkiri. Pencarian jati diri memungkinkan untuk salah mengambil keputusan.
Namun apadaya ketidakpenuhan hati ini menggusur tuk ingin terpenuhi. Memang betul, sebagai seorang lelaki katanya harus bisa mengambil keputusan , keputusan yang nantinya bisa menjadi sebuah kekonsistenan. Pandangan sebuah harapan yang tertuju kedepan , menjadikan sebuah angan - angan. Suatu hal terjadi yang mungkin saat ini menjadi sebuah refleksi , namun kala itu menjadi proses dasar tuk mencintai. Berproses dengan waktu, membuat hati ini menjadi lebih memilih langkah sendiri yang tak tahu apa yang akan terjadi.
Langkah - langkah pendekatan yang tujuannya tuk menggali kabar dan kepribadian dalam diri seorang perempuan pun tak bisa terpungkiri. Mengupas segala informasi tentangnya terjadi setiap melangkah keluar gerbang menengah pertama dengan sebuah kata yang ku rangkai dengan harapan secuil tanggapan berdasarkan hati olehnya , karenaku tak punya mental tuk mengungkapkan sepatah katapun padamu saat itu. Kalimat yang kuucapkan dalam pesan yang kukirimkan memang bukan sebuah tindakan yang menyita perhatian.
Namun asal kau tau huruf yang ku tekan telah berdasarkan alasan harapan. Hari terus berganti setiap hari kuulangi dengan isi hati yang sama dengan hari yang kemarin . Setiap hari sekolah kupandangi dirimu bagaikan sebuah kunang - kunang didalam gelapnya malam, yang menjajikan sebuah harapan yang terang. Namun kalimat yang kulontarkan kepada membuat diriku merasa dungu dan ragu. Memang belum ada yang kuperbuat dan kuberikan padamu, sebatas untaian kata - kata yang tak cukup bagimu. Tak ada tanggapanmu yang membuatku yakin kepadamu. Namun hati ini memang telah menetapkan arah tujuan padamu, sehingga ku tak mudah berbalik arah berhenti menggapaimu.
Hari semakin tua dan harapan besarku semakin ku pangku. Selepas menuruni angkot kuning yang setia menemaniku pulang setiap harinya dan ku sampai di tukang bakso yang biasa kusinggahi sembari menunggu yang menjemputku. Saat itu menjadi saat yang ku sangat benci dan menjadi sebuah salah satu kekeliruan sekaligus kedunguan.
Diriku berkeinginan tuk segera menyatakan perasaan kepada seseorang yang ku taruhkan harapan yang begitu besar. Kata - kata indah penuh harapan itupun ku lontarkan padanya di dalam sebuah pesan. Kutunggu dia menjawab sebenarnya isi hatiku itu yang kupupuk telah lama. Dan nada deringpun bersuara gembira namun tak sesuai dengan isi pesannya, dia menjawab hanya dengan dua huruf tanpa maaf " " yang membuatku tak percaya , dan bertanya kepada diriku sendiri apakah ini memang terjadi padaku? Apakah cinta memang sejahat ini? Hati ini seperti menangis,mengingat harapan yang telah ku impikan seperti kayu yang telah menjadi abu .
Saat ini kuanggap kau yang telah jauh disana, bagaikan sebuah batu pijakan yang telah kupilih tuk kupijak dengan penuh harapan namun membuatku terjatuh kedalam sungai yang mengajarkanku apa artinya sebuah pilihan dan sebuah perjuangan...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H