Lihat ke Halaman Asli

Apa Salahnya Memilih Hidup Sederhana?

Diperbarui: 21 November 2015   00:10

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gaya Hidup. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Dalam hidup, orang-orang seringkali berekspetasi bahwa gaya hidup yang mewah adalah cara meningkatkan derajat dalam bersosial. Hal ini dilandasi oleh persaingan ego yang sangat tinggi. Pernahkah anda merasa minder atau iri ketika ada seorang teman yang mempunyai sebuah mobil dan dipuji-puji ibarat derajatnya lebih tinggi dari kita? Atau pernahkan anda dibedakan bedakan dengan orang yang berpenampilan menarik hanya karna pakaian kita tidak lebih keren dari orang yang berpenampilan menarik tersebut?

Saya selalu menghindarkan diri dari  hal seperti diatas. Bahkan dalam beberapa kasus, saya sering ditanya-tanya “Orang tuamu orang yang berkecukupan, mobil orang tuamu banyak tapi kenapa gayamu seperti ini?” jika ditanya seperti itu saya hanya bisa tersenyum. Terserah mereka mau menganggap senyuman itu tanda setuju dengan pertanyaan mereka atau tidak.

“Apa hebatnya berpenamplian keren dari hasil pemberian orang tua?” saya sering berceloteh dengan kata itu dengan teman-teman di kampus saat melihat mobil yang diparkir oleh kebanyakan mahasiswa yang berkecukupan. Rasa iri teman-teman saya sering tak terhindarkan. Apalagi ketika si pemilik mobil keluar bersama pacarnya sambil memamerkan rambutnya yang berminyak dan aroma wangi dari mobilnya.

Tak pelak kebanyakan dari mereka memilih memaksakan diri sendiri untuk berpenampilan mewah agar level derajat hidupnya bisa dipandang tinggi dari orang lain.

Yang awalnya makan kenyang bisa di warung kampus perlahan mulai beralih ke KFC, Solaria atau Pizza hut, yang dulunya sering menggunakan pakaian cakar, karna ego mulai beralih ke pakaian bermerek seperti Hugo Boss dan Adidas. Ujung-ujungnya hanya memberatkan diri kita, terlebih lagi orang tua.

Dalam dunia penulisan, untuk menciptakan karakter kita membutuhkan needs dan wants demi menentukan tujuan diciptakannya karakter. Needs sendiri adalah kebutuhan karakter sedangkan wants adalah kemauan karakter.

Akhir cerita yang happy ending dalam sebuah karya fiksi baik itu film atau tulisan, karakter needs selalu jadi hasil akhir daripada faktor wants nya yang selalu dikejar karakter di awal hingga pertengahan cerita. Begitupun ego kita dalam kehidupan sehari-hari. Kita terlalu sibuk mengejar wants, sehingga melupakan faktor needs yang berpotensi membuat akhir cerita kita  menjadi happy ending.

Terkadang memamerkan kekayaan seringkali menimbulkan rasa tidak nyaman ataupun minder bagi orang-orang yang tidak mampu, akibatnya orang yang tingkat ekonominya menengah kebawah selalu menghindar dengan orang yang tingkat ekonominya lebih tinggi. Hasilnya? Akan mengganggu kehidupan bersosial masing-masing kelompok.

Selain faktor diatas, orang-orang sukses kebanyakan terbiasa hidup sederhana. Masa lalu yang sangat sulit menyadarkan mereka untuk lebih dini berinvestasi dengan kerja keras, berani mencoba dan pantang mundur terhadap setiap penolakan dalam meraih pencapaian dimasa yang akan datang. Itulah sebabnya rata-rata orang sukses didunia lebih memilih berkehidupan sederhana sekaligus memberi contoh bagi penerusnya kelak.

Salah satu tokoh sukses yang berkehidupan sederhana adalah Warren Buffet, ia adalah orang terkaya kedua dunia menurut Forbes, di belakang Bill Gates. Di Indonesia sendiri ada Dahlan Iskan, Akbar Faisal dan Bob Sadino.

Bagi saya sendiri, kesederhanaan itu ibarat celana jeans yang isi kantongnya sedikit. Semakin sedikit kamu isi semakin nyaman dan bebas kamu bergerak. Dan yang paling terpenting kamu akan selalu ingat letak barang yang kamu simpan.

Yang pastinya hidup sederhana adalah pilihan.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline