Lihat ke Halaman Asli

Reyhan Wijaya

Mahasiswa Biasa Saja

Bolehkah Kita Menonton Tidak Sesuai dengan Rating Umur?

Diperbarui: 20 Juni 2021   00:26

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ruang Kelas. Sumber Ilustrasi: PAXELS

Siapa orang yang tidak suka menonton film? Mulai dari anak kecil yang sudah bisa melihat sampai kakek-nenek semua suka menonton film. Film merupakan hiburan secara visual yang bisa ditonton dimana saja, seperti rumah, bioskop dan kapan saja, mulai dari pagi, siang, malam, tergantung waktu bebas orang-orang. Tapi, di semua film yang tayang di Indonesia, baik itu baru tayang di bioskop atau sudah masuk stasiun televisi, pasti ada rating umur yang dibuat oleh Lembaga Sensor Indonesia (LSF) untuk membatasi orang untuk menonton film itu, karena pada dasarnya ada beberapa adegan di film yang tidak cocok untuk orang karena adegannya terlalu sadis, dan atau bisa saja adegan itu terlalu vulgar. Lalu, apakah kita, sebagai Masyarakat Indonesia, boleh menonton film tidak sesuai dengan rating umur yang sudah ditentukan Lembaga Sensor Indonesia? Karena berdasarkan pengalaman pribadi beberapa hari lalu, saat saya menonton film di salah satu bioskop, rating umur untuk film yang saya tonton adalah untuk orang-orang 17 tahun keatas, namun, ada beberapa orang yang umurnya sudah diatas 17 tahun, tapi mengajak anak-anak mereka yang saya lihat kira-kira umur 8 tahun ikut menonton film itu juga.

Sebelum membahas tentang rating umur, mari membahas tentang film itu sendiri. Di Indonesia, perfilman sudah diatur di UU, lebih tepatnya UU RI Nomor 33 Tahun 2009 tentang perfilman. Pada pasal satu ayat satu,"Film adalah karya seni budaya yang merupakan pranata sosial dan media komunikasi massa yang dibuat berdasarkan kaidah sinematografi dengan atau tanpa suara dan dapat dipertunjukkan. Jadi maksud dari pasal ini adalah film merupakan media yang digunakan untuk berkomunikasi dengan khalayak menggunakan kaidah sinematografi dan dapat dipertunjukkan dengan tujuan memberikan informasi. Lalu pada pasal 7,"Film yang menjadi unsur pokok kegiatan perfilman disertai pencantuman penggolongan usia penonton film yang meliputi film: a. untuk penonton semua umur; b.untuk penonton usia 13 (tiga belas) tahun atau lebih; c. untuk penonton usia 17 (tujuh belas) tahun atau lebih; dan d. untuk penonton usia 21 (dua puluh) tahun atau lebih", jadi tidak semua film bisa ditonton oleh semua orang, karena ada batas umur yang sudah ditetapkan sesuai UU. Selain apa yang ditulis dalam UU perfilman, rating umur juga ditentukan oleh suatu lembaga pemerintah bernama Lembaga Sensor Film.

Lembaga Sensor Film mempunyai beberapa fungsi, tugas, dan wewenang dalam melakukan beberapa kegiatannya. Ini adalah Fungsi, tugas, dan wewenang LSF sebagai lembaga sensor Indonesia.

Fungsi LSF:

  • Melindungi masyarakat dari adanya kemungkinan dampak-dampak negatif yang ada didalam pertunjukan atau penayangan film dan iklan-iklan film yang tidak sesuai dengan dasar dan tujuan di dalam UU perfilman Indonesia.
  • Lembaga Sensor Film memelihara tata nilai dan tata budaya bangsa di bidang perfilman Indonesia.
  • Memantau masyarakat dalam melakukan apresiasi terhadap film dan iklan film yang beredar, dipertunjukkan, dan atau ditayangkan, lalu menganalisis asil pemantauan dan dijadikan sebagai bahan pertimbangan untuk tugas penyensoran berikutnya dengan maksud pengambilan kebijaksanaan kea rah pembagunan positif di perfilman Indonesia.

Tugas LSF:

  • Melakukan sensor terhadap film dan iklan-iklan film yang akan diedarkan, diekspor, dipertunjukkan, dan ditayangkan kepada khalayak umum.
  • Meneliti beberapa unsur film seperti tema, gambar, adegan, suara, dan teks terjemahan dari suatu film dan iklan-iklan film yang akan diedarkan, diekspor, dipertunjukkan, dan ditayangkan kepada khalayak umum.
  • Menilai layak tidak layaknya tema, gambar, adegan, suara, dan teks terjemahan dari suatu film dan iklan-iklan film yang akan diedarkan, diekspor, dipertunjukkan, dan ditayangkan kepada khalayak umum.

Wewenang LSF:

  • Meluluskan sepenuhnya atau sebagian film dan iklan-iklan film untuk diedarkan, dieskpor, dipertunjukkan, dan ditayangkan kepada khalayak umum.
  • Memotong atau menghapus bagian gambar, adegan, suara, dan teks terjemahan dari suatu film dan iklan-iklan film yang akan diedarkan, diekspor, dipertunjukkan, dan ditayangkan kepada khalayak umum.
  • Menolak suatu film atau iklan film secara utuh yang akan diedarkan, dieskpor, dipertunjukkan, dan ditayangkan kepada khalayak umum.
  • Memberikan surat lulus sensor sebagai tanda bahwa film itu layak untuk dipertunjukkan di setiap kopi film, trailer film, dan iklan berbentuk film.
  • Membatalkan surat atau tanda lulus sensor untuk film dan iklan-iklan film yang ditarik peredarannya.
  • Memberikan surat tidak lulus sensor sebagai tanda bahwa film itu tidak layak untuk dipertunjukkan di setiap kopi film, trailer film, dan iklan berbentuk film.
  • Menetapkan rating umur penonton film.
  • Mengumumkan film impor yang ditolak.

Sebagaimana yang dijelaskan di poin 7 pada wewenang LSF, LSF mempunyai wewenang untuk menetapkan rating umur untuk setiap film yang akan beredar pada setiap bioskop. Lalu, mengapa film perlu ada penggolongan umur untuk menonton film?

Penggolongan umur untuk film sudah ditetapkan di hampir seluruh negara di dunia, seperti di Indonesia, Amerika Serikat, dan Korea Selatan. Penggolongan umur ini sangat penting, karena film bisa jadi membawa dampak buruk bagi kita sebagai penikmat film. Contoh, ada sebuah film kartun ditetapkan oleh LSF sebagai film dengan rating 13+ atau film tersebut bagi orang-orang yang sudah berumur lebih dari tiga belas tahun karena film itu terlalu berat ceritanya untuk anak dibawah umur tiga belas, lalu ada anak baru berusia sepuluh tahun ikut kakaknya yang berumur enam belas tahun menonton film itu. Kalau berdasarkan pengamatan, anak tiga belas tahun akan paham bahwa cerita yang disampaikan pembuat film kartun itu untuk mengigatkan bahwa perbuatan jahat itu tidak baik. Namun, anak berusia sepuluh tahun akan menganggap bahwa cerita itu hal yang biasa dilakukan karena adegan itu ada di cerita itu, maka itu akan membawa dampak buruk bagi anak berusia dibawah tiga belas tahun.

Lembaga Sensor Film menyensor dan menetapkan penggolongan umur hanya saat suatu film mau diedarkan, sedangkan setelah film itu diedarkan, LSF tidak ada tanggungjawab lagi untuk melakukan sensor film, lalu, bagaimana cara agar orang yang lebih tau tentang hal-hal tidak baik melakukan sensor pada anak-anak seperti pengalaman saya diatas?

Pada Tahun ini, ketua Lembaga Sensor Film, Rommy Fibri Hardiyanto sudah mulai mengajak masyarakat untuk melakukan gerakan swasensor atau Gerakan Sensor Mandiri (GSM). Pada seminar yang diselenggarakan oleh Prodi Ilmu Komunikasi UMM, Rommy memberi tahu kalau gerakan ini dimulai dari memberi ajakan ke masyarakat untuk menjadi bagian dari khalayak film yang kritis dan open minded. Gerakan Sensor Mandiri ini dilakukan untuk menemukan titik temu agar suatu film tidak lagi dihilangkannya adegan yang mengganggu jalan cerita tetapi tidak juga merusak nilai budaya Bangsa Indonesia.

Kesimpulan yang dapat diambil, kita sebagai mahasiswa yang sudah mengerti baik dan buruk dari suatu kegiatan, diharapkan bisa melakukan Gerakan Sensor Mandiri ini kepada anak-anak yang lebih kecil atau orang-orang yang belum bisa membedakan baik dan buruk suatu hal agar bisa mengerti bahwa tidak semua film baik untuk semua orang, ada beberapa batasan yang harus ditepati demi kebaikan dari orang orang itu sendiri.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline