Lihat ke Halaman Asli

Jurnal Reflektif: Mempertahankan Tradisi Wiridan di Desa Alur Alim di Tengah Arus Modernisasi

Diperbarui: 30 Agustus 2024   08:33

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Mahasiswa KKN Melayu serumpun mengikuti wiridan  di alur alim/dokpri

Di tengah arus modernisasi yang semakin kuat, masyarakat Desa Alur Alim, Kecamatan Seruwai, Kabupaten Aceh Tamiang, tetap teguh mempertahankan tradisi wiridan. Kegiatan religius ini telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan warga, menunjukkan betapa kuatnya kesetiaan mereka terhadap ajaran agama sekaligus mempererat tali silaturahmi antarwarga. Sebagai mahasiswa yang terlibat dalam kegiatan ini, saya(Adinda Humaira) mendapatkan pengalaman berharga yang memperkaya pemahaman saya tentang bagaimana nilai-nilai lokal dapat bertahan di tengah derasnya perubahan zaman.

Refleksi Pribadi dan Pengalaman Mengikuti Wiridan

Keikutsertaan dalam kegiatan wiridan memberi saya wawasan baru tentang kehidupan sosial dan spiritual masyarakat Alur Alim. Kegiatan ini rutin dihadiri oleh tokoh-tokoh desa, termasuk Datok Armia selaku pemimpin desa, Imam Amri S, perangkat desa, dan lembaga adat. Kehadiran mereka tidak hanya menjadi simbol dukungan moral, tetapi juga memperkuat pentingnya wiridan sebagai jembatan sosial dalam komunitas.

Ketika pertama kali ikut serta, saya terkesan dengan suasana kekeluargaan yang tercipta. Setiap kali wiridan diadakan secara bergantian di rumah-rumah warga, saya bisa merasakan kedekatan yang kuat antara satu keluarga dengan yang lainnya. Hal ini bukan sekadar rutinitas, tetapi menjadi momen istimewa di mana warga saling berbagi cerita, pengalaman, dan tentunya mendekatkan diri kepada Tuhan. Momen ini mengingatkan saya bahwa di balik kemajuan teknologi dan modernisasi, ada nilai-nilai luhur yang tetap harus dijaga.

Pembelajaran dari Tradisi dan Komunitas

Saya menyadari bahwa pembagian jadwal wiridan untuk perempuan setiap hari Selasa dan laki-laki pada malam Jumat bukan hanya sekadar aturan, melainkan bentuk penghormatan terhadap keseimbangan aktivitas warga. Ketika Imam Kampung Amri S menjelaskan bahwa jadwal yang terpisah ini memungkinkan semua warga untuk berpartisipasi tanpa mengganggu aktivitas harian, saya semakin mengerti pentingnya inklusivitas dalam tradisi. 

Sebagai mahasiswa KKN, saya dan rekan-rekan juga berkesempatan membantu dalam persiapan acara, dari yang sederhana seperti menyiapkan tempat hingga membantu penyajian makanan. Kehadiran kami diterima dengan hangat, dan banyak warga yang senang berbagi cerita tentang sejarah desa dan tradisi wiridan. Dari sini, saya belajar bahwa tradisi bukan hanya tentang menjalankan sebuah ritual, tetapi juga tentang menjaga hubungan antarindividu dalam komunitas.

Tantangan dan Rekomendasi untuk Keberlanjutan Tradisi

Namun, di balik kehangatan dan kekuatan tradisi ini, saya juga melihat tantangan, terutama di kalangan generasi muda yang cenderung lebih sibuk dengan aktivitas sehari-hari dan pengaruh teknologi. Beberapa remaja terlihat kurang antusias, mungkin karena merasa bahwa wiridan adalah tradisi yang lebih relevan bagi orang tua mereka. Ini menjadi pengingat bagi saya akan pentingnya memberikan pemahaman yang lebih mendalam kepada generasi muda tentang nilai-nilai yang terkandung dalam tradisi ini. 

Saya merekomendasikan agar tokoh-tokoh desa dan komunitas lebih aktif mengajak remaja terlibat, mungkin dengan mengintegrasikan unsur-unsur kreatif yang bisa menarik minat mereka. Mengadakan diskusi setelah wiridan atau memberikan ruang bagi anak muda untuk berkontribusi dalam bentuk lain, seperti musik religi atau seni islami, bisa menjadi cara untuk menghidupkan kembali semangat berpartisipasi mereka.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline