Lihat ke Halaman Asli

Muhammad Randy Pratama Lubis

Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Mulawarman

Akibat Hukum dan Kedudukan Anak Perkawinan Tidak dicatatkan

Diperbarui: 3 Desember 2024   10:07

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Pencatatan Perkawinan

Pencatatan perkawinan itu sangat penting untuk dilaksanakan oleh pasangan mempelai karena surat maupun buku nikah tersebut dapat membuktikan keturunan sah yang dihasilkan dari perkawinan tersebut dan memperoleh hak-haknya sebagai ahli waris. Perkawinan merupakan suatu perbuatan hukum, yang dengan sendirinya tentu akan menimbulkan akibat-akibat hukum, yakni adanya hak dan kewajiban di antara para pihak yang melangsungkan perkawinan yang harus dipenuhi oleh suami isteri yang terikat perkawinan tersebut.

Dasar Hukum Pencatatan Perkawinan

Hal ini berdasarkan PERMENAG RI Nomor 20 Tahun 2019 Tentang Pencatatan Pernikahan pada Pasal 2 ayat (1) yang berbunyi: "Pernikahan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan beragama Islam dicatat dalam Akta Nikah." Yang berarti Perkawinan yang sah ialah perkawanin yang dicatatkan di Kantor Urusan Agama (KUA) yang dokumennya disebut Buku Nikah sedangkan Non Islam dicatatkan di Dukcapil yang dokumennya adalah Akta Perkawinan.

KHI juga menyarankan untuk mencatatkan perkawinan agar tertib, hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (1) KHI dengan tujuan terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat islam setiap perkawinan harus di catat. Dalam KHI anak yang lahir dari perkawinan tidak tercatat akan sulit memperoleh haknya.

Menurut pasal 272 KUHPer dijelaskan bahwa anak-anak luar kawin yang dapat diakui adalah anak yang dilahirkan oleh seorang ibu namun yang tidak dibenihkan oleh seorang pria yang berada dalam ikatan perkawinan sah dengan ibu si anak tersebut dan tidak termasuk di dalam kelompok anak zinah dan anak-anak sumbang. Kedudukan dan status anak yang dilahirkan berdasarkan Pasal 42 UU Perkawinan dijelaskan bahwa "Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah".

Anak dari Perkawinan yang Tidak dicatatkan

Dalam Pasal 99 KHI menjelaskan bahwa anak sah adalah: (a) anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah; (b) hasil pembuahan suami isteri yang sah di luar rahim dan dilahirkan oleh isteri tersebut. Secara syariat islam, hubungan anak dengan ayah dan ibunya tidak masalah tetapi bila dihadapkan dengan hukum Negara hubungan keperdataan dengan ayah biologisnya tidak diakui. 

Anak menderita kerugian pula jika ayah dan keluarga ayahnya tidak mengakui dan hanya diakui oleh ibu dan keluarga ibunya sehingga fasilitas pendukung hidupnya terputus. Apalagi bila ibunya telah ditinggalkan atau dicerai ayahnya, semua hak ibu dan anaknya tidak mampu diperleh, kecuali ada kesadaran dari ayahnya untuk menjalankan ketentuan agama. 

Di luar regulasi tersebut sering terdapat perkawinan yang tidak dicatatkan seperti nikah siri meskipun dilakukan sesuai dengan ketentuan agama atau adat, perkawinan ini tidak diakui secara hukum negara karena tidak tercatat dalam catatan sipil atau Kantor Urusan Agama (KUA). 

Hal ini berakibatkan status hukum dari perkawinan ini berada dalam situasi yang rentan, terutama dengan hak-hak hukum pihak yang terlibat, terutama anak-anak yang lahir dari perkawinan tersebut dan juga dalam bidang harta kekayaan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline