Lihat ke Halaman Asli

Atribusi Penyebar Hoax di Indonesia

Diperbarui: 30 Juni 2021   20:17

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

News photo created by freepik - www.freepik.com

Merupakan Tugas Dalam Mata Kuliah Media Studies

Muhammad Revi Hari Prajanto (20200012113)

Dosen Pengampu:

-Prof. Dr. Iswandi Syahputra, S.Ag., M.Si

-Drs. Bono Setyo, M.Si


Diera digital perkembangan informasi semakin hari semakin pesat. Perkembangan teknologi informasi yang semakin pesat  telah memudahkan dan memepercepat masyarakat dalam menerima informasi. Salah satu cepatnya arus informasi di pengaruhi oleh media sosial. Media sosial adalah sebuah kelompok aplikasi berbasis internet yang digunakan untuk melakukan komunikasi jarak jauh tanpa terbatasnya ruang dan waktu.  

Indonesia merupakan salah satu penggunan Sosial Media terbesar didunia. Berdasarkan survey dari HootSite dan agensi media sosial We Are Social dalam laporan bertajuk Digital 2021, saat ini, ada 170 juta jiwa orang Indonesia yang merupakan pengguna aktif media sosial. Rata-rata dari mereka menghabiskan waktu 3 jam 14 menit di platform jejaring sosial. Dilihat dari frekuensi penggunaan bulanan, urutan pertama aplikasi media sosial yang paling banyak digunakan di Indonesia ternyata ditempati oleh YouTube, disusul oleh WhatsApp, Instagram, Facebook, lalu Twitter secara berturut-turut. (Conney Stephanie,2021)

Kemunculan media sosial layaknya dua sisi mata uang yang berbeda, di lain sisi memudahkan manusia dalam berkirim informasi. Dilain sisi terdapat sisi gelap dengan munculnya berita-berita hoax. Fenomena munculnya hoax yang banyak merugikan masyarakat perlu menjadi perhatian dan menjadi kasus yang tidak bisa dianggap remeh. Dilansir dari situs kominfo.go.id menyebutkan bahwa ada sekitar 800.000 situs di Indonesia yang telah terindikasi sebagai penyebar informasi palsu. Internet telah salah dimanfaatkan oknum tertentu untuk keuntungan pribadi dan kelompoknya dengan cara menyebarkan konten-konten negatif yang menimbulkan keresahan dan saling mencurigai di masyarakat. Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel) merilis survei tentang informasi palsu (hoax) yang tengah marak di Tanah Air. Dari hasil survei itu, diketahui media sosial menjadi sumber utama peredaran hoax. Proses survei dilakukan secara online dan melibatkan 1,116 responden. Sebanyak 91,8 persen responden mengatakan berita mengenai Sosial-Politik, baik terkait Pemilihan Kepala Daerah atau pemerintah, adalah jenis hoax yang paling sering ditemui, dengan persentase di media sosial sebanyak 92,40 persen. Selain itu, 62,8 persen responden mengaku sering menerima hoax dari aplikasi pesan singkat seperti Line, WhatsApp atau Telegram.

Penyebaran berita-berita hoax di dalam masyarakat justru semakin membudaya dan menjadi konsumsi sehari-hari.  Masyarakat lebih berupaya untuk segera menyebarkan berita-berita yang belum tentu kebenarannya dari pada harus mengecek sumber informasi dan kebenaran dari berita tersebut. Sehingga, Informasi yang bersifat hoax semakin sulit untuk di kendalikan dan menimbulkan beragam opini di mayarakat. Parahnya, jika penyebaran hoax semakin masif terjadi dan tidak ada kontrol maka akan berakibat pada perpecahan bangsa.  


Pada kasus penyebaran hoax kita tidak hanya berfokus pada proses penyebarannya saja akan tetapi faktor apa yang melatarbelakangi kebiasan tersebut. Untuk memahami penyebab di balik perilaku  dalam menyebarkan informasi terkait erat dengan atribusi mereka. Kajian  tentang  atribusi  pada  awalnya  dilakukan  oleh  Frizt  Heider  (1958).  Menurut Heider,  setiap  individu  pada dasarnya adalah  seseorang  ilmuwan  semu  (pseudo  scientist) yang   berusaha   untuk   mengerti   tingkah   laku   orang   lain   dengan mengumpulkan   dan memadukan potongan-potongan informasi sampai mereka tiba pada sebuah penjelasan masuk akal tentang sebab-sebab orang lain bertingkah laku tertentu. Dengan kata lain seseorang itu selalu  berusaha  untuk  mencari  sebab  mengapa seseorang  berbuat  dengan  cara-cara  tertentu. Misalkan  kita  melihat  ada  seseorang  melakukan  pencurian.  Sebagai  manusia  kita ingin mengetahui penyebab kenapa dia sampai berbuat demikian.

Menurut  Heider  ada  dua  sumber  atribusi  tingkah  laku:  

  1. Atribusi  internal  atau  atribusi  disposisional. Pada  atribusi  internal  kita  menyimpulkan  bahwa  tingkah  laku  seseorang     disebabkan  oleh  sifat-sifat atau  disposisi  (unsur psikologis yang mendahului tingkah laku)

  2. Atribusi  eksternal atau  atribusi  lingkungan. Pada atribusi eksternal kita menyimpulkan  bahwa  tingkah  laku seseorang disebabkan  oleh  situasi  tempat  atau  lingkungan  orang  itu  berada. (Setiawati Intan Savitri)

Dalam faktor internal atribusi penyebar hoax dipengaruhi oleh motivasi atau emosi dari diri sediri. Motivasi dalam diri dapat berupa kepuasan jika menjadi penyebar informasi yang pertama atau bisa dibilang menjadi  yang paling up to date. Akibatnya pesan yang diterima tidak divalidasi terlebih dahulu kebenarannya dan langsung disebarkan ke orang lain  untuk kepuasan pribadi semata. Selain untuk kepusan pribadi, kebiasaan malas membaca juga bisa melatarbelakangi penyebaran hoax dalam faktor ini. Seperti contoh saat heboh RUU Cipta Kerja, masyarakat hanya membaca poin-poin dari RUU tanpa membaca isi keseluruhan dalam pasal. Contoh kecil dalam kasus ini adalah adanya pasal tentang hak cuti hilang, faktanya waktu istirahat cuti masih diatur dan tetap mendapat upah penuh, cuti had, cuti melahirkan juga tetap menerima upah penuh.

Selain faktor internal yang melatarbelakangi seseorang dalam menyebarkan hoax, terdapat juga faktor external. Faktor external berkaitan dengan atribusi yang berasal dari luar orang itu, seperti lingkungan, uang dan seterusnya. Dalam faktor eksternal, penyebaran hoax juga bisa dilatar belakangi oleh faktor ekonomi. Salah satu contoh dalam kasus ini adalah adanya buzzer. Buzzer biasanya diidentikkan dengan seseorang yang melakukan penggiringan opini publik terhadap isu-isu politik. Oleh karena itu kerap kaitannya buzzer menyerang lawan politik dengan berita-berita palsu untuk menurunkan kredibilitas. Bahkan buzzer sudah menjadi salah satu profesi yang menjanjikan di masa kini. 

Penyebaran informasi bohong yang dilakukan tiap hari dan terus menerus bahkan menjadikan hal ini  profesi. Mengakibatkan hoax semakin mengakar  dan membudaya di ruang virtual. Sehingga kebiasaan terus menerus dan berulang-ulang dalam membuat hoax menjadikan apa yang benar dan apa yang palsu menjadi semakin abu-abu. Karena sejatinya kebudayaan bukanlah sesuatu yang berkenaan dengan sejarah melainkan dikontruksi dan diproduksi.

Terdapat beberapa cara untuk membendung tumbuh dan berkembangnya hoax di ruang virtual ,Menurut Drs. Bono Setyo, M.Si selaku direktur COMTC dan Dosen Ilmu Komunikasi UIN Sunan kalijaga. Langkah pertama yaitu dengan melakukan kegiatan penyadaran pada masyarakat (literacy media/digital). Tujuan dari kegiatan ini agar masyarakat  menjadi sadar (aware) dan melek media sehingga dapat memilah dan memilih berita atau informasi mana yang baik dan menyehatkan untuk dikonsumsi.

Langkah kedua adalah membudayakan sikap tabayun (klarifikasi), seperti yang diingatkan Allah SWT dalam QS Hujurat: 6 "Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa berita (hoak), periksalah dengan cermat (check and recheck) agar kamu tidak tertimpa musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu akan menyesal atas perbuatan itu". Tabayun dalam arti mencari kejelasan tentang sesuatu sampai jelas benar keadaannya. Meneliti dan menyeleksi berita, tidak tergesa-gesa memutuskan masalah, baik dalam hal hukum, agama, kebijakan publik, sosial-politik dan lainnya hingga jadi jelas permasalahannya.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline