Lihat ke Halaman Asli

Negara Banci

Diperbarui: 26 Juni 2015   06:56

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13024928191401619680

*** Mari kita berandai-andai, jika terjadi dua kasus penculikan, yang satu korbannya adalah orang yang tidak kita kenal, satunya lagi korbannya adalah anak kita/keluarga dekat kita, Kira-kira seperti apa reaksi kita terhadap dua kasus ini?. Pasti berbeda. Prioritas dan ikhtiar kita pasti lebih besar manakala anak kita yang menjadi korban. Besar kemungkinan, nasib kapal kargo Sinar Kudus yang dibajak oleh perompak Somalia sejak 16 Maret 2011 terkatung-katung tidak jelas karena pemerintah menganggap kapal dan 20 ABK-nya “hanyalah orang lain” yang tidak perlu ditolong Pemerintah kita sepertinya bukan hanya sudah kehilangan Prioritas namun lebih parah lagi sudah kehilangan Orientasi. Berbicara tentang prioritas, Dalam kasus ini perompak somalia ‘hanya’ meminta tebusan senila $3.5 Juta atau sekitar Rp. 30 Miliar. Nominal itu sangat sepele jika dibandingkan dengan Nilai barang yang diangkut oleh barang tersebut yang bernilai sekitar Rp. 1,7 Triliun. Angka Rp. 30 Miliar itu jauh lebih kecil dari pada nominal anggaran pembangunan gedung baru DPR sebesar 1, 3 Triliun. Dari Komparasi ini, pertanyaannya dimana letak Prioritas Pemerintah? Tentang Orientasi. Orientasi utama dari Keberadaan sebuah pemerintah tentu adalah untuk melindungi keselamatan warga negara. Bagaimana dengan pemerintah kita?, Ini peduli saja tidak apalagi untuk menyelamatkan mereka!. Bayangkan pemerintah kita baru bersuara setelah kapal tersebut disandera hampir  selama satu bulan. Itupun hanya bersuara bahwa proses pembebasan Kapal dan Para ABK membutuhkan waktu yang lama, kita harus bersabar, dsb. Benar-benar pemerintah Banci! Sekarang mari kita berbicara tentang solusi. Ada 2 opsi solusi yang paling mungkin dan realistis. Pertama, memenuhi permintaan perompak yakni memberi tebusan. Kedua, Operasi militer. Sebenarnya masih ada satu opsi solusi yang relevan, yakni negosiasi. akan tetapi ini sesuatu yang sulit apalagi kita melihat kemapuan nogosasi&diplomasi pemerintah yang sangat lemah. Menurut saya, solusi yang paling realistis (untuk saat ini) adalah memenuhi permintaan perompak dengan memberikan uang tebusan. Namun perlu dicatat, itu hanya bisa ideal terjadi jika kita memiliki penguasa uang peduli juga system yang peduli. Yang terjadi justru sebalinya, Penguasa kita tidak faham akan fungsinya sebagai pelindung dan pengayom rakyat. Lebih buruk lagi, dalam sistem Sekular-Kapitalis yang saat ini sedang diterapkan, sebelum kebijakan penyelamatan diambil, terlebih dahulu akan dianalisis aspek ke-ekonomian-nya. Jika menguntungkan secara ekonomi, bisa mengangkat citra, dan bisa pamer-pamer kekuatan; maka upaya penyelamatan akan cepat dilakukan. Sebaliknya jika aspek-aspek tersebut tidak ada, maka hampir bisa dipastikan tidak akan ada upaya pemnyelamatan. Kasus ini persis seperti yang dialami oleh ABK Taiwan yang mati kelaparan setelah 10 bulan lantaran pemerintah Taiwan ogah menyelamatkan para korban, atau dalam dalam kasus lain, kasus penyelamatan TKI misalnya. Dan, saya sangat khawatir pemerintah kita mengadopsi prinsip itu; Biarkan nyawa 20 ABK melayang, kita tidak terlalu rugi karena muatan kapal senilai 1, 5 Triliun telah diasuransikan. Astagfirulloh… T.T

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline