Lihat ke Halaman Asli

Aku, Ridho, (Kezhaliman) SBY

Diperbarui: 26 Juni 2015   14:44

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

***

Tiga hari ini, ketika Allah menganugrahkan sakit, praktis aktivitas hanya berkutat di rumah kontrakan saja. Diantara rutinitas yang cukup membosankan, sepertinya Cuma empat diantaranya yang menarik; nonton, baca, ibadah, dan nulis. Selebihnya terasa hambar atau berat. Ya namanya juga lagi sakit. (bukan ngeluh lho.., hanya setengah ngeluh... ^_^)

Diantara 4 aktifitas itu, yang durasinya paling lama pastinya nonton TV. Tapi sayangnya, (dan anda juga saya yakin kadang-kadang merasakan hal yang sama), saat ini menonton TV pun malahan bikin nambah pusing dan bingung. Dalam ke-prustasi-an menonton TV, tanpa disadari ternyata mata ini meneteskan air mata. Bukan karena sudah tidak tahan merasakan sakit, tetapi karena terharu menyimak berita-berita tentang penderitaan orang lain yang diekspos secara vulgar oleh stasiun-stasiun TV.

Tentu anda tahu kan bahwa apa yang disebut penderitaan akan benar-benar kerasa manakala kita sendiri berada pada kondisi menderita. Saya ikut merasakan penderitaan ibu-ibu rumah tangga manakala harga cabai naik, dikarenakan kemarin pas mau beli cabai di pasar uang yang harusnya untuk membeli segala kebutuhan ternyata hanya cukup untuk beli cabai saja. Saya juga ikut merasakan penderitaan jutaan kepala Keluarga karena TDL naik karena saya juga pusing tagihan listrik kontrakan untuk bulan depan naik hampir 4x lipat.

Pun saya ikut merasakan penderitaan yang dialami oleh seorang anak bernama Ridho Yanuar yang sakit luar biasa karena wajahnya terbakar semua gara-gara Bom gas 3 kilo. Hal ini kerasa banget karena kebetulan saat ini saya juga dalam kondisi sakit.

Tapi perlu digarisbawahi, bahwa saya bersedih bukan semata-mata hanya karena melihat “kehancuran” muka seorang anak berusia 4,5 tahun. Bukan semata-mata karena itu. Yang membuat saya bersedih adalah lebih karena perlakuan Dzolim Penguasa kita. Sang ibu rela membawa anaknya menempuh perjalanan beratus-ratus kilometer dari Jawa Timur menuju Istana hanya untuk meminta sedikit saja “pengurusan” dan pertanggungjawaban dari seorang presiden. Tapi apa yang didapat?, Hanya menunggu diam selama 3 jam Plus pengusiran secara halus.!!!

Ridho, hanya satu dari ratusan korban program konversi energi ini. Mengingat telah terjadi ledakan gas lebih dari 189 kali selama 2008 - Juli 2010. Jumlah ini terus bertambah, karena ledakan akibat kebocoran elpiji di rumah-rumah penduduk Indonesia, belum mampu dihentikan.

Ridho dan korban-korban booming ledakan tabung elpiji lainnya hanya bisa menangisi keadaan.
Kebijakan-kebijakan "karya cerdas" pemerintah kongkritnya hanya menghasilkan air mata. Sekarang bahkan air mata itu sudah habis terkuras, hanya menyisakan ratapan dalam diam.

Jalan keluarnya, saatnya SBY Jangan meremehkan penderitaan rakyat. Apalagi sampai menyalahkan rakyat atas semua yang terjadi. Saatnya pemerintah bertindak gentle menyalahkan diri sendiri. Mengaku salah atas kebijakan konversi enegi, mengaku salah atas kenaikan harga-harga, mengaku salah telah menaikkan TDL, pada intinya mengakui adanya kesalahan pada kebijakan-kebijakan yang ada. Rakyat menunggu tanggungjawab pemerintah melindungi dan memelihara kepentingan mereka.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline