Sudah banyak kejadian menggelitik terjadi di negeri yang 'katanya' menjadikan hukum sebagai panglima ini. Salah satu yang masih jelas saya ingat adalah penangkapan Kuncoro alias Kunoto, petani jagung asal Kediri, Jawa Timur tersebut diciduk polisi karena kepiawaianya membuat benih jagung untuk dijual ke pasar.
Alasan polisi saat itu, karena benih tersebut belum mendapatkan ijin tes laboratorium dan izin edar dari instansi terkait. Alhasil, petani malang yang berniat memperbaiki kehidupan itu harus mendekam di balik dinginnya sel tahanan kantor polisi setempat. (Baca)
Kisah serupa juga sempat dirasakan Muhammad Husrin alias Kusrin, alih-alih tak memiliki izin perakitan televisi (TV) dan sertifikasi dari Standar Nasional Indonesia (SNI), pria lulusan SD yang berprofesi sebagai teknisi elektronik itu digelandang yang berwajib.
Lagi-lagi alasan polisi karena perakit TV asal Karanganyar, Jawa Tengah itu kedapatan merakit dan menjual sendiri TV hasil rakitannya tanpa izin dan memenuhi aturan-aturan penjulan alat elektronik. (Baca)
Seperti tak pernah belajar dengan kejadian sebelumnya. Baru-baru ini polisi kembali menangkap Warioboro si pembuat dan penjual jamu di Kelurahan Karang Mulya, Kecamatan Pangkalan Banteng, Kabupaten Kotawaringin Barat (Kobar), Kalimantan Tengah. Sekali lagi, alasannya pun tak jauh berbeda, karena pria yang sebelumnya bersama istrinya (Parsini) tersebut membuat jamu secara turun temurun itu mengemas dan menjual jamu tanpa mengantongi surat izin edar dari instasi terkait.
Bedanya, Warioboro dan Parsini sempat mengurus izin ke pihak kecamatan. Merasa sudah mendapat izin, ia lalu memulai usahanya. Namun, cita-cita keduanya memperbaiki perekonomian keluarga pupus ketika polisi tetap mempersalahkan mereka, alasannya tentu saja karena menjual jamu tanpa izin edar.
Beruntung, dalam kasus si penjual jamu ini penulis mendapat kesempatan untuk berbincang dengan sang penyidik. Dalam penjelasannya, pihaknya tetap berkeyakinan jika si penjual jamu itu salah. Meski dia sendiri juga belum bisa menjawab apakah jamu tersebut berbahaya atau tidak untuk dikonsumsi.
"Pokoknya perkara ini tetap harus lanjut, berbahaya atau tidak itu urusan nanti. Kami fokus menjerat tersangka dengan UU Kesehatan, dimana semua produk kesehatan harus mendapat izin edar dari BPOM (Badan Pengawas Obat dan Makanan)," katanya penuh percaya diri.
Saat penulis menanyakan jika nanti BPOM maupun Dinas Kesehatan (Dinkes) mengeluarkan rekomendasi untuk hanya memberikan peringatan kepada si penjual jamu tanpa harus menahan yang bersangkutan, ia hanya menjawab, "itu risiko saya, apapun yang terjadi nanti, kasus ini harus naik (berlanjut ke proses hukum," ucapnya ketus.
Tentu saja jawaban dari pak polisi tersebut belum memuaskan penulis, karena saat itu dia langsung meninggalkan ruangan. Padahal, inti dari pertanyaan penulis adalah ingin menanyakan soal kesan polisi yang terburu-buru menangkap dan menahan si penjual jamu. Kenapa masyarakat dengan akses informasi terbatas tersebut dipersalahkan hanya karena persoalan administratif 'njlimet' yang penulis sendiri yakini tak dipahami oleh si penjual jamu itu.
Bukankah pendekatan humanis dengan memberikan pengarahan atau menyerahkan si penjual jamu ke dinas terkait untuk dibina lebih manusiawi? Tetapi, sekali lagi kami tak bisa berbuat banyak. Karena kami sadar hal itu sudah menjadi kewenangan aparat yang 'harus' selalu terkesan gagah saat menegakkan hukum yang berlaku, tak terkecuali bagi si penjual jamu yang hanya ingin berusaha mencari penghidupan layak.