[caption id="attachment_174892" align="alignleft" width="150" caption="Tugu Burung Enggang, di Pasar Panas, Barito Timur."][/caption] Sudah hampir empat bulan aku berada di kabupaten lintas Kalimantan Tegah - Kalimantan Selatan (Kaltengsel). Kabupaten Barito Timur (Bartim) ini tak kalah eksotisnya dengan kabupaten-kabupaten lain di kalimantan pada umumnya. Sekilas sejarah, Kabupaten ini telah mekar dari Kabupaten induk (Barito Selatan) pada 10 April 2002, dari catatan BPS pada 2010 lalu, kabupaten ini memiliki kepadatan penduduk yang cukup rendah, yakni 384 Km2 dengan berpenghuni 96.820 jiwa saja. Kabupaten beribukota Tamiang Layang ini ternyata memiliki berbagai potensi mulai dari potensi yang sudah tergali dengan pencemaran tingkat tinggi seperti batu bara dan tambang lain, mamupun potensi yang belum tergali secara maksimal, mulai dari potensi wisata sampai potensi budaya dengan berbagai keunikan yang tak dimiliki wilayah lain di Indonesia. Jurnal sebelumnya aku juga melabeli kabupaten ini sebagai kabupaten versi beta. Eksotika budaya ini juga bisa kita jumpai pada upacara-upacara atau ritual kematian yang dilakukan oleh suku Dayak Maanyan (Suku mayoritas Kabupaten Bartim). Ritual ini menggambarkan kemuliaan dunia baru yang akan dituju oleh roh orang yang meninggal dunia (negeri arwah/tumpuk audiau) yang merupakan sebuah negeri kaya raya berpasir emas, berbukit intan, berkerikil manik-manik dan penuh dengan kesenangan, kesempurnaan yang berarti tidak ada lagi kesusahan serta tangisan. Ritual ini juga memiliki aturan dan hukumnya sendiri. kematian, terutama setelah kematian tatau matei yang meninggalkan sisa adanya mayat seperti sekarang, maka penyelenggaraan upacara kematian harus selalu dilaksanakan sesuai dengan keberadaan dan tingkat perekonomian masyarakat pendukungnya. Dalam perkembangan selanjutnya, penyempurnaan ini melahirkan berbagai bentuk upacara kematian seperti yang dilakukan sekarang ini. Untuk daerah hukum adat suku Dayak Maanyan yang meliputi wilayah Banua Lima, Paju Empat dan Paju Sepuluh terdapat bentuk-bentuk upacara kematian sebagai berikut: Ejambe, yaitu upacara kematian yang pada intinya pembakaran tulang si mati. Pelaksanaan upacaranya sepuluh hari sepuluh malam diikuti dengan ritual pendampingnya. Ngadatun, yaitu upacara kematian yang dikhususkan bagi mereka yang meninggal dan terbunuh (tidak wajar) dalam peperangan atau bagi para pemimpin rakyat yang terkemuka. Pelaksanaannya tujuh hari tujuh malam. upacara ini juga diikuti ritual pendampingnya. Mia, yaitu upacara membatur yang pelaksanaannya selama lima hari lima malam. Untuk upacara Mia aku kurang paham, apakah juga disertai ritual pendamping seperti jurnalku sebelumnya atau tidak. Ngatang, yaitu upacara mambatur yang setingkat di bawah upacara Mia, karena pelaksanaannya hanya satu hari satu malam. Dan kuburan si mati pun hanya dibuat batur satu tingkat saja. Siwah, yaitu kelanjutan dari upacara Mia yang dilaksanakan setelah empat puluh hari sesudah upacara Mia. Pelaksanaan upacara Siwah ini hanya satu hari satu malam. Inti dari upacara Siwah adalah pengukuhan kembali roh si mati setelah dipanggil dalam upacara Mia untuk menjadi pangantu keworaan (sahabat pelindung sanak keluarga). Isi dari berbagai upacara kematian biasanya berupa pergelaran berbagai kesenian atau tari-tarian tradisional Dayak Maanyan seperti Gintur, Giring-Giring, Dasas, Ebu Lele, dan sebagainya, jadi upacara kematian merupakan kesenangan belaka karena para pengunjung bebas untuk memperlihatkan kebolehannya. Selain potensi wisata budaya, kabupaten ini juga memiliki potensi wisata yang sampai saat ini masih dalam proses pencarian yakni, Liang Ulu yang terletak di Gunung Ulu, Desa Lalap, Kecamatan Patangkep Tutui. Ulu merupakan bahasa dayak ma’anyan yang berarti "kepala" dalam bahasa Indonesia. Menurut masyarakat setempat Liang Ulu merupakan sebuah gua di mana mulut guanya hanya bisa dimasuki oleh satu orang, akan tetapi semakin kedalam ruangannya semakin lebar. Di dalam Liang Ulu ini terdapat tulang belulang dan tengkorak kepala manusia. Dan di antara tulang belulang dan tengkorak kepala manusia tersebut terdapat tengkorak kepala manusia yang berukuran diatas normal (raksasa). Wisata ini merupakan aset kabupaten Bartim yang cukup menarik untuk dikembangkan, ditambah lagi nilai positif yakni menghidupkan kegiatan masyarakat sekitar area wisata. Jadi sudah sepatutnya pak Bupati atau pejabat terkait untuk membuat sayembara/ekspedisi dalam upaya pencarian situs wisata ini. Tamiang Layang, 2/5 2012.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H