Lihat ke Halaman Asli

Indonesia di Titik Nol

Diperbarui: 24 Juni 2015   06:51

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Terlampau sempit medium ini jika hendak mendeskripsikan begitu banyak versi tentang Indonesia, terlebih jika kemudian harus diteruskan dengan mencari akar gagasan dan legitimasi praksis-rasionalistiknya. Tapi satu hal yang sulit dibantah adalah Indonesia merdeka lebih mengikuti versi Soekarno dari pada versi Hatta, yaitu menggalang kekuasaan (machtvorming) dan menggunakan kekuasaan (machtsaanwending), dari pada perbaikan mutu SDM dengan usaha sendiri. Agitasi, bukan quality.

Indonesia, pada dua dekade awalnya adalah Indonesia dengan versi Soekarno, yang didalamnya tersisip kegelisahan Hatta tentang Indonesia masa depan dan bagaimana meraihnya. Dalam Indonesia versi Soekarno itu, penggalangan kekuasaan dan penggunaan kekuasaan terintrodusir dalam terma "revolusi terus menerus". Demi aksi massa, rakyat terezimentasi. Semua orang memusatkan pikiran dan tenaga untuk mengisi ruang-ruang revolusi yang menggelora itu. Modal mereka hanya lidah dan mulut, alias menjilat dan memuji. Mayoritas orang lupa akan keterampilan teknis dan bagaimana bekerja membangun Indonesia lewat cara lain. Akhirnya, dalam gelegak "adrenalin" revolusi itu, rezim Soekarno berakhir tragis. Jangankan meningkatkan mutu kehidupan rakyat, revolusi harus terhenti dalam kemerosotan politik dan kesulitan ekonomi. Dan dalam cerpennya, Jalan Lain Menuju Roma, Idrus melukiskan sekan-akan setelah 20 tahun, bangsa Indonesia kembali ke titik nol.

Open, tokoh dalam cerpen itu, menyaksikan orang-orang yang telanjang bulat berebut bangkai anjing di sungai Ciliwung. Open mencatat, "Bangkai merebut bangkai". Bangkai anjing itu dimakan oleh seseorang yang behasil merebutnya, lalu Open mencatat, "Bangkai makan bangkai". Gelandangan lain dengan iri hati melihat temannya makan sendirian. Solidaritas kemanusiaan sudah hilang, seperti hilangnya perasaan malu. Lalu Open menulis, "Anjing makan bangkai". Pemakan bangkai itu tersandar pada batang pohon, lalu mati karena sakit perut. Open menulis, "Bangkai jadi bangkai".

Jika rombak-merombak lembaga dan melakukan mobilisasi-sentimentil gagal strategis itu, tentu tidak mengherankan jika Soeharto tidak lagi mengulanginya. Tapi ada pola yang tetap bertahan, Soeharto lebih suka menggalang dan menggunakan kekuasaan, meski dengan semangat dan cara yang justru anti revolusi. Dan loyalitas pada kekuasaan masih menjadi mainstream yang tak tergantikan. Indonesia versi Bung Hatta - atau yang senada dengan itu - tetap merana. Selama lebih dari tiga dekade, gelombang revolusi diganti dengan gelombang pembangunan, yang sebenarnya lebih merupakan gelombang eksploitasi sumber-sumber daya bangsa Indonesia. Dan setiap orang kembali berebut peran untuk turut dan berkuasa dalam gelombang itu. Peningkatan sumber daya manusia dilakukan, tapi justru dengan mengabaikan pengembangan kemanusiaan itu sendiri. Manusia-manusia pembangunan menjadi komoditas yang hanya memiliki satu pilihan, yaitu menjadi bagian dari mesin pembangunan yang mekanistik, serta kehilangan sensitifitas sosial dan kesempatan.

Ironisnya, gelombang pembangunan itu berakhir dengan kehancuran, dan meninggalkan bangsa Indonesia tanpa daya. Kepercayaan rakyat semakin hilang, mula-mula pada kekuasaan, lalu pada ketekunan, hingga akhirnya pada kejujuran. Andaikan Idrus menulis lagi, maka setelah "bangkai jadi bangkai", dia akan menambahkan "bangkai jadi sampah". Ambivalensi itu terus terjadi. Seakan-akan meningkatkan mutu sumber daya manusia tapi mengabaikan kemunusiaan. Mengaku (dalam retorika) pemerintahan yang bersih, tapi korupsi justru terjadi. Alih-alih “pemerintahan yang bersih”, Ketua Hakim Mahkamah Kostitusi (Akil Mochtar) pun ikut terlibat “skandal”, apakah masih bisa mengaku bersih?!

Dalam ambivalensi itu, setiap kita akan sulit membedakan antara penyakit dan penderitanya. Antara korban dan bencana. Racun dan darah telah menyatu dan senyawa itu telah menjadi racun yang baru. Jangan-jangan itulah yang terjadi dengan kolusi, korupsi serta nepotisme yang telah menggurita di negeri ini. Erich Fromm menyebut kondisi yang seperti ini sebagai the pathology of normalcy, penyakit yang tidak lagi disadari sebagai penyakit karena sudah menjadi bagian yang wajar. Sehingga berapa pun banyak korupsi dilakukan, tidak akan pernah seorang pun dinyatakan sebagai koruptor sebab lembaga pengadilan tidak pernah lagi bisa menjatuhkan vonisnya. Indonesia setelah itu jauh lebih buruk dari Turki di awal abad ke 20, yang disebut sebagai the sick man of Europe. Indonesia tidak hanya sekedar the sick man of Asia, tapi bisa jadi adalah penyakit itu sendiri, wabah, bangkai dan sampah itu sendiri. Naudzubillah.

Apakah yang Masih Tersisa ?
Jangan-jangan Indonesia merdeka tanpa disertai kesadaran yang mendalam akan quality, apalagi mempersiapkan re-engineering dan velocity. Baiklah, karena kita harus membuat keputusan dan melakukan tindakan secepat pikiran bergerak, maka segera kumpulkanlah apa yang masih tersisa, dan lakukan sesuatu yang bisa dilakukan. Tapi jangan lupa, kesemua itu harus sesuai dengan kemampuan dan bakat (vermogen en aanleg), serta dengan tenaga dan kekuatan sendiri (eigen kracth en eigen kunnen), tanpa bergantung pada bantuan asing, begitu Bung Hatta mengingatkan.

Faktor kemandirian menjadi penting, karena setiap kelemahan akan selalu mengundang intervensi. Dan intervensi adalah awal bagi penindas baru, walaupun dalam setiap penampilannya ia “seolah-olah” menjadi pembebas. Betapa tidak, Indonesia saat ini berhadapan dengan persolan internal yang kompleks; antagonisme terus berlangsung tapi tanpa indikasi kohesifitas. Di saat yang sama ia harus menghadapi tekanan eksternal atas nama kepentingan asing (korporasi) yang seolah-olah merupakan kepentingan Indonesia; tanpa imunitas dan posisi tawar yang baik. Yaa, kita telah terjebak dalam ambivalensi.

Lalu bagaimana nasib pemerintahan yang seolah-olah berkedaulatan rakyat itu; masihkah ia daulat rakyat, ketika rakyat tidak bisa berdiri sejajar dengan sesama rakyat hanya karena beberapa diantaranya berstatus pejabat? Ketika intimidasi tidak bisa dibedakan dengan penanganan sesuai prosedur? Ketika koruptor menghardik balik lembaga peradilan, dan lembaga peradilan tak berdaya karena "kekenyangan" upeti? Ketika keserakahan pengusaha mengorbankan rakyat pribumi, dan pemerintah lebih berpihak pada pengusaha yang mengesploitasi bumi demi ambisi pribadi? Ketika negeri "yang konon katanya merdeka" berada dalam pendiktean bangsa asing? Masihkan para pejabat pemerintahan tidak bisa membedakan antara mengantisipasi teror dan mendukung teror dengan menerima dana hutang yang seolah-olah digunakan untuk menghabisi teroris? Dan hal lain yang paling dilematis akibat “keseolah-olahan” itu adalah masalah hutang luar negeri kita. Pemerintah kita lebih suka “mengemis” dari pada melakukan optimasi asset-aset internal yang terus dibiarkan terlantar. Hutang terus menumpuk hingga ratusan bahkan ribuan triliun. Untuk “mengemplang” hutang juga sangat sulit, sebab dalam pandangan lembaga keuangan dunia Indonesia bukanlah negara paling miskin. Mungkin benar, kita bukan negara termiskin, tapi negara “setengah miskin” yang seolah “kaya-raya”. Karena dalam negara “miskin” itu hidup segelintir orang “kaya-raya” dengan jumlah kekayaan di atas satu triliun [siapa ya yang memiliki harta diatas satu triliun di negeri ini?!-pen].

Tapi baiklah, karena kita harus mengambil keputusan dan melakukan tindakan secepat pikiran bergerak, maka palingkan wajah ke cermin sendiri. Kita tidak ingin kehilangan banyak waktu untuk mencari legitimasi bagi ambivalensi itu. Tapi bagaimana mungkin ada perbaikan, jika tidak ada perubahan politik yang sepadan. Dengan perubahan politik yang signifikan (bukan individu tapi sistemnya, walau sering juga keduanya), rekonsiliasi - misalnya -- akan lebih mudah dilakukan karena pihak-pihak yang berkaitan lebih jelas terlihat. Antagonisme lebih mudah dijelaskan, sehingga kohesifitas akan berlangsung dengan sendirinya. Hal lain yang mutlak diingat adalah, kita harus melakukan pelembagaan atau reisntitusionalisasi. Sebab kita tidak bisa berharap dari proses yang sporadis, kita harus membangun proses yang terlembagakan, karena dari sanalah kita bisa mengambil pola. Dan dengan bergegas (bukan tergesa) kita kembali merumuskan citra populer Indonesia masa hadapan, dari titik nol.

Citra populer itu adalah sintesa berbagai versi tentang Indonesia yang diidamkan oleh setiap orang yang merasa anak bangsa dalam konteks generiknya. Tanpa dipaksa, dan diagitasi. Setiap orang harus diberikan ruang yang luas untuk mengutarakan pikirannya tentang citra populer Indonesia, karena kemerdekaannya. Ia haruslah terdiri dari sintesa - diantaranya versi Bung Karno yang diekstraksi (bukan wujud emosinya) dengan versi Hatta, juga versi-versi yang lain yang berisikan cita kolektif anak bangsa tentang bagaimana Indonesia di masa hadapan. Citra populer itu haruslah berisikan paduan semangat besar dan ketelitian detail, antara gagasan yang mengilhami dan hasil yang mengawasi, antara solidaritas bangsa dan kemerdekaan pribadi, antara kekuasaan dan tanggungjawab, antara kebanggaan ruhani dan kearifan tradisi, serta antara keluhuran cita dan kepuasan prestatif; sesuatu yang selama ini sulit untuk kita sandingkan. Hingga kita bisa merasakan nikmatnya hidup merdeka, bebas bersuara, dan boleh berbeda, tanpa harus takut pada siapa pun, meski itu negara. Karena menurut Willy S. Rendra dalam syairnya; "Kebangsaan Indonesia adalah ciptaan rakyat Indonesia, bukan ciptaan Pemerintah Indonesia. Pemerintah Indonesia tinggal mewarisi saja dari rakyat." Diakhir syairnya ia menulis; " ..... Itu dari rakyat, pemerintah jangan gede rasa dan mengira tanpa pemerintah tidak ada persatuan dan kesatuan. Justru pemerintah yang mengacaukan rasa berbangsa". Semoga.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline