Mirna masih saja tertunduk lesu dengan wajah masam yang sedari tadi menyelimuti dirinya. Mukenah yang sudah melekat di tubuhnya sejak satu jam yang lalu menjadi saksi bisu kekesalan hati gadis tersebut. Sementara itu, seorang lelaki paruh baya masih saja duduk santai ditemani secangkir kopi yang masih hangat. Sesekali matanya melirik ke arah anak gadis kesayangannya itu. Tampaknya dia tahu betul bagaimana watak anak sulungnya tersebut.
"Mir, kamu tidak jadi pergi ke masjid? Sebentar lagi acaranya akan dimulai. Lihat itu, teman-teman kamu saja bersemangat pergi ke sana"
Seorang wanita berkerudung hitam menghampiri Mirna sambil menghelus-helus punggung gadis itu. Mata Mirna pun mengikuti arah pandangan ibunya tersebut pada sekumpulan gadis-gadis desa yang berjalan mendekati rumah mereka. Mirna langsung berusaha mengubah ekspresi wajahnya ketika seorang gadis berkerudung biru menghampirinya.
"Ayo Mir kita pergi ke masjid . Pak ustadz sudah menunggu kita loh"
Mirna hanya menghembuskan napas panjangnya, berharap sesak di dalam dada bisa segera berkurang. Wajar saja, keinginan kedua orang tuanya yang menginginkan Mirna untuk mengikuti seleksi lomba pidato sama sekali tidak diminati olehnya. Gadis yang terkenal pendiam dan pemalu ini belum pernah sekalipun berbicara di depan khalayak umum. Apalagi jika harus mengikuti lomba yang akan diadakan antar desa tersebut.
Mungkin bagi sebagian orang, ini adalah kesempatan emas untuk mencoba keberuntungan. Atau mungkin ini menjadi peluang yang sangat berharga bagi mereka yang memiliki bakat di bidang tersebut. Namun tidak bagi Mirna, ini merupakan sebuah beban yang memenuhi isi kepalanya. Hal inilah yang membuat gadis ini sedari tadi memilih untuk tidak makan dan minum. Dengan harapan, orang tuanya membatalkan keinginan mereka tersebut. Tetapi sepertinya nihil, ayah Mirna tetap bersikeras menyuruh anaknya mengikuti lomba tersebut.
Dengan wajah yang masih masam dan hati yang masih kecewa, Mirna melangkahkan kakinya menuju sebuah masjid. Canda tawa yang dilontarkan oleh teman-temannya sedari tadi tidak juga membuat gadis itu tersenyum. Hingga mereka masuk ke dalam masjid yang sudah dipenuhi oleh anak-anak dan beberapa orang remaja. Di sudut masjid , terlihat seorang pria dengan pakaian kokonya sudah duduk tersimpul. Seorang laki-laki dari luar masjid datang diiringi oleh beberapa anak-anak kecil. Laki-laki itupun menyuruh anak-anak tersebut untuk dapat duduk dengan rapi.
Setelah melihat kondisi mulai tenang, ustadz Jaka selaku ketua masjid segera mengambil posisi yang nyaman di hadapan mereka. Semua orang yang berkumpul pada malam itu tampak serius mendengarkan arahan dan bimbingan dari beliau. Terlihat dari beberapa kali anggukan kepala yang mereka perlihatkan. Hingga tiba dimana setiap mereka dibagi menjadi beberapa kelompok sesuai dengan jenis lombanya. Masing-masing kelompok telah diberikan bahan yang harus dipelajari nantinya.
Gemuruh suara tepuk tanga mengiringi langkah Mirna menuju ke atas mimbar. Jantungnya kali ini seperti dipompa lebih cepat dan membuat keringat mulai membasahi tubuhnya. Sebuah kertas yang bertuliskan naskah pidato sudah berada di tangannya sedari tadi. Serak suaranya pun mulai terdengar memenuhi ruangan, membuat semua tatapan mata tertuju padanya. Mirna semakin dibuat tidak nyaman, itu dapat dilihat dari kertas putih yang bergerak-gerak di tangannya. Berkali-kali gadis itu mencoba memindahkan posisi kertas tersebut agar tidak terlihat jika dia sedang demam panggung.
Sungguh tidak pernah dibayangkan oleh Mirna akan mengikuti sebuah lomba pidato nantinya. Mirna hanya berharap akan ada sebuah keajaiban yang akan membuatnya batal dalam mengikuti lomba tersebut. Namun lagi-lagi harapan Mirna tidak tercapai, tepat malam nanti lomba itu akan diadakan. Sejak pagi, ibu Mirna telah sibuk menyiapkan kebutuhan yang dibutuhkan Mirna nantinya. Kondisi ekonomi keluarga yang masih rendah, membuat ibu Mirna tidak bisa memberikan hal khusus pada anaknya. Sepasang pakaian muslim berwarna kuning kunyit lengkap dengan jilbabnya akan menjadi saksi bisu Mirna malam ini. Hati Mirna mulai tersentuh ketika melihat perjuangan ibunya yang begitu besar demi dirinya.