Lihat ke Halaman Asli

Reva Ramdhani

Mahasiswa

Program Makan Siang Gratis: Solusi Gizi atau Beban Ekonomi?

Diperbarui: 10 Desember 2024   22:28

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Program Makan Siang Gratis: Solusi Gizi atau Beban Ekonomi?  

Janji manis janji makan siang gratis seringkali menjadi sorotan di tengah perut lapar dalam hiruk-pikuk kampanye politik pasangan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka, yang dengan gagahnya menawarkan program ini sebagai solusi gizi untuk anak bangsa. Sekilas, program ini terdengar seperti jawaban atas permasalahan stunting dan kurang gizi yang menghantui generasi muda. Tapi benarkah semanis itu?  

Di balik slogan yang menggugah, ada pertanyaan yang tak terelakkan. Pertama, apakah program ini benar-benar bisa meningkatkan kualitas sumber daya manusia Indonesia? Kedua, tepatkah jika Dana BOS yang sejatinya untuk buku, alat tulis, dan gaji guru diarahkan menjadi pembiayaan makan siang?  

Mari kita bicara jujur: haruskah kita mengorbankan masa depan pendidikan demi memenuhi perut hari ini? Artikel ini mencoba berkontemplasi dalammenjawab pertanyaan apakah janji makan siang gratis ini adalah langkah strategis atau sekadar beban tambahan bagi keuangan negara yang sudah kelelahan.  

Gizi di atas piring, harapan di atas kertas menjadikan wacana program makan siang gratis ini datang dengan tujuan mulia. Pemenuhan gizi dianggap sebagai jalan pintas menuju generasi emas yang cerdas dan sehat. Angka stunting yang tinggi dan tingkat kecerdasan anak yang masih menjadi PR besar negara, diharapkan bisa diselesaikan hanya dengan selembar bungkus makanan.  

Tapi, mari kita renungkan sejenak. Ketika tujuan itu ditulis di atas kertas, apakah mereka juga memikirkan anggarannya? Ataukah ini hanya sebatas mimpi yang dilemparkan begitu saja kepada rakyat?  

Anggaran Fantastis, Realitas Tragis

Rp 450 triliun per tahun. Itu bukan sekadar angka; itu hampir dua kali lipat anggaran pendidikan nasional. Dengan jumlah penerima yang mencapai 82,9 juta orang, biaya per porsi makan siang mencapai Rp 15 ribu. Sekilas terlihat sederhana, tapi bagaimana ini berdampak pada APBN yang sudah rapuh?  

Lalu, dari mana uang ini akan datang? Pemerintah mengusulkan pemotongan subsidi BBM, sebuah langkah yang ironis di tengah kebutuhan rakyat atas energi murah. Alternatif lainnya adalah memanfaatkan Dana BOS, yang selama ini menjadi tumpuan pendidikan dasar di negeri ini.  

Mengalihkan Dana BOS untuk makan siang gratis seperti merampas payung dari seorang anak di tengah hujan deras. Apa jadinya jika sekolah kehilangan buku, alat tulis, atau bahkan guru hanya untuk menggantikan makan siang? Program ini mungkin terdengar heroik, tetapi langkah-langkah yang diambil justru mengundang ironi. Makan siang gratis, mungkin akan terasa mahal ketika rakyat akhirnya sadar: ada harga yang lebih besar yang harus dibayar dari piring ini.

Dana BOS: Dari Buku ke Nasi Kotak

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline