Lihat ke Halaman Asli

Studi Analisis Ghibah Dalam Perspektif Hadits

Diperbarui: 10 Januari 2024   10:08

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

PENULIS ARTIKEL: Reva Nur Alfiany, Silva Saputri, Rhaka Alfian Nugraha, Hartono Giri Akbar, Tenny Sudjatnika, M. Ag.

Ghibah merupakan salah satu perbuatan dosa yang dibenci oleh Allah SWT dan harus dihindari oleh umat Islam. Dari sudut pandang hadits, ghibah memiliki dimensi keagamaan yang mendalam. Hadits, merupakan sumber hukum kedua dalam islam setelah al-qur'an, memberikan perspektif khusus terhadap ghibah dan menekankan pentingnya etika bertutur kata. 

Hadits menjadi landasan etika komunikasi dalam kehidupan sehari-hari umat Islam. Melalui hadits-hadits tersebut kita dapat memahami bahwa ghibah tidak hanya merupakan pelanggaran norma sosial, tetapi juga pelanggaran terhadap ajaran agama.

1. Pengertian Ghibah

Secara etimologi, Ghibah berasal dari kata ghaabaha yaghiibu ghaiban yang berarti ghaib, tidak hadir dalam kitab Maqayis al-Lughah diartikan sebagai "sesuatu yang tertutup dari pandangan" asal kata ini memberikan pemahaman unsur "ketidakhadiran seseorang" dalam ghibah, yakni orang yang menjadi objek pembicaraan. Kata ghibah dalam bahasa Indonesia mengandung arti umpatan, yang diartikan sebagai perkataan yang memburuk-burukkan orang. 

Ghibah secara terminologi yaitu menceritakan tentang seseorang yang tidak berada ditempat dengan sesuatu yang tidak disukainya. Baik menyebutkan aib badannya, keturunannya, akhlaknya, perbuatannya, urusan agamanya, dan urusan dunianya. Sedangkan menurut Imam al-Ghazali, ghibah adalah menceritakan seseorang dengan sesuatu yang tidak disukainya, dan andaikan hal itu sampai pada orang yang sedang dibicarakan maka itu akan menyakiti hatinya.

2. Bentuk-Bentuk Ghibah 

a). Dalam bentuk sebagai kekufuran yaitu apabila ia berbuat ghibah pada seorang muslim (yang tidak berhak untuk di ghibah), maka kemudian dikatakan kepadanya: "jangan berghibah!" (padahal dalam hatinya ia tahu bahwa dia sedang meng-ghibah) Maka dia telah mengharamkan apa yang Allah haramkan, sedang barang siapa yang menghalalkan apa yang telah Allah haramkan menjadikan (pelakunya) kafir.

b). Dalam bentuk sebagai kemunafikan yaitu ketika ia berbuat ghibah untuk orang tertentu tanpa menyebut nama orang tersebut, tapi hal itu desebutkannya pada orang-orang yang mengenal dan mengetahui orang yang disebutnya tersebut sehingga mereka benar-benar tahu bahwa yang dimaksudkannya tersebut adalah "fulaan". Maka dia telah menggunjingnya, namun dia mengaggap dia terbebas dari itu, namun justru disinilah kemunafikan tersebut.

c). Dalam bentuk sebagai maksiat yaitu  maka apabila seseorang mengghibahi seseorang dengan menyebut nama, dan dia mengetahui bahwa ia melakukan maksiat (dengan ghibah tersebut) maka inilah merupakan perbuatan maksiat.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline