Sejak gugurnya 6 anggota laskar FPI yang saat itu terjadi pada tanggal 7 Desember, fenomena ini bukan hanya menarik perhatian akademisi dan praktisi HAM. Namun sudah menjadi pembahasan yang sangat luas di tengah masyarakat. Pembahasan dan diskusi terjadi untuk saling mencari garis besar dengan caranya masin-masing. Penembakan yang dilakukan oleh pihak kepolisian menjadi kontroversial dengan keikutsertaannya Komnas HAM dalam penyeledikan kasus ini.
Saksi demi saksi yang dipanggil, keterangan demi keterangan yang didapatkan, waktu demi waktu yang terus berjalan kejadian ini semakin menunjukan bahwa kesewenang-wenangan dalam melakukan tindakan terjadi pada 7 Desember 2020 lalu. Sesuai dengan laporan yang dibuat langsung oleh Komnas HAM terkait hasil penyelidakan terhadap peristiwa tersebut, bahwa dalam laporan tersebut Komnas HAM menyatakan adanya pelanggaran HAM dalam peristiwa yang terjadi pada 2 tempat yang berbeda dengan hilangnya 6 nyawa lascar dari FPI
Dalam pelaporannya Komnas HAM tidak menyampaikan bahwan tragedi ini bukan merupakan dari pelanggaran HAM berat apabila dalam studi komparasi dengan sejarah PKI, kejadian Talangsari, dan kejadian Tanjung Priok, namun hal tersebut tetap harus dilaporkan dan disampaikan dalam penyeledikan bahwa ada unsur pelanggaran HAM yang dilakukan oleh pihak kepolisian. Hal tersebut sudah merupakan bagian yang sangat proporsional yang sudah dilakukan oleh Komnas HAM, hal itu disampaikan oleh penulis laporan Komnas HAM.
Secara aspek demokrasi dan sudut pandang politik kasus ini menjadi bukti bahwa adanya indikasi Abuse of Power oleh salah satu aparat negara, upaya-upaya yang dilakukan secara sistematis dan sistematik apabila dilihat dari adanya pengintaian dan pengejaran yang memang secara sengaja dilakukan oleh aparat kepolisian.
Kasus George Floyd yang masih segar dipikiran ini sebagai bukti bahwa nyawa manusia baik hanya berjumlah satu, dampak membawa gejolak baik dalam sosial maupun dalam politik. Adanya rasisme yang terjadi di Amerika menjadi tantangan yang tersendiri dalam upaya menampung aspirasi serta mengimplementasikan kebijakan untuk semua warga negara tanpa ada yang dikecualikan. Di Indonesia, beragamnya suku, adat, dan agama harus dapat dijadikan kekuatan oleh Presiden, bukan malah yang sebaliknya sering kali dijadikan sebagai alat (tools) dari upaya mendestruksi persatuan yang ada dalam menjalankan esensi kekuasaan dalam sistem demokrasi.
Tahun sudah memasuki tahun 2021, penyeledikan yang terus bejalan belum menghadirkan titik cerah. Potensi hadirnya kecelakaan dalam sejarah HAM ini harus menjadi tanggung jawab besar Presiden bersama warga negara agar tidak ada lagi anggota organisasi masyarakat yang harus berakhir tragis. Pemerintah Indonesia harus dapat meghadirkan pioneer persatuan / national interest yang dimulai dari rukunnya kehidupan bersmasyarakat di antara aparat negara dan masyarakat sipil. Esensi demokrasi yang harus lahir diperjuangkan ini menjadi tonggak penting agar kedaulatan serta hak-hak warga negara tidak dilemahkan oleh beberapa aksi yang memang dilakukan secara sengaja. Keikut sertaan akademisi, intelektual, dan professional menjadi indikator penting agar terciptanya penyeledikan yang akuntabel serta transparan.
(Mahasiswa Pasca-Sarjana Ilmu Politik, FISIP, Universitas Indonesia - Rizky Emirdhani Utama S.IP)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H