Lihat ke Halaman Asli

Alasan Kenapa Ditjen Pajak Harus Pisah dari Kemenkeu

Diperbarui: 18 Juni 2015   06:42

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

sumber : beritadaerah.com

[caption id="" align="alignnone" width="620" caption="sumber : beritadaerah.com"][/caption]

Wacana Pemisahan Direktorat Jenderal Pajak dari Kementerian Keuangan dari dulu sudah ada namun pada saat inilah tuntutan tersebut benar-benar menguat. Banyak elemen masyarakat mulai dari Wajib Pajak, pegawai pajak sendiri, akademisi, anggota DPR RI, Pejabat Negara sampai dengan Capres yang berlaga di Pilpres 2014 mengusulkan agar Direktorat Jenderal Pajak berdiri sendiri. Hal tersebut justru perlu disyukuri karena masyarakat pada umumnya sudah mulai merasakan betapa strategisnya peran pajak dalam pembangunan negara ini sehingga mulai menuntut agar pajak menjadi tanggung jawab Presiden langsung. Hampir kurang lebih 78% penerimaan negara berasal dari pajak, yang mana kelak penerimaan negara ini akan digunakan untuk mensubsidi kebutuhan pokok seperti BBM dan listrik, menaikkan gaji aparat negara termasuk TNI dan POLRI, mencicil hutang luar negeri, bantuan desa, meningkatkan taraf pendidikan serta menyempurnakan alutsista untuk pertahanan negeri ini dan sebagainya untuk kemakmuran rakyat.

Banggar DPR mengusulkan agar pemerintahan yang baru kelak dapat menindaklanjuti pemisahan Direktorat Jenderal Pajak dari Kementerian Keuangan sebagaimana yang akan diusulkan dalam Rencana Kerja Pemerintah 2015 sebagai benang merah antara pemerintah sebelumnya dengan pemerintah baru sehingga diharapkan segera diselesaikan dan dijadikan prioritas oleh pemerintahan yang baru kelak. Terkait pemisahan tersebut, Menteri Keuangan menanggapi bahwa hal tersebut merupakan pekerjaan pemerintahan yang baru kelak namun yang menjadi concern beliau adalah kekhawatiran mengenai masalah koordinasi kelak.

Kekhawatiran beliau menarik untuk dikupas namun terlalu kecil untuk menjadikannya alasan bahwa Direktorat Jenderal Pajak tidak perlu pisah dari Kementerian Keuangan. Faktor utama yang menyebabkan bahwa kepentingan untuk menjadikan DJP sebagai badan tersendiri di bawah presiden dan terpisah dari Kementerian Keuangan jauh lebih besar dan menyangkut hidup rakyat pada umumnya sehingga akan lebih luas dikupas daripada sekedar mengupas masalah kekhawatiran tersebut apalagi jika bukan untuk meningkatkan penerimaan pajak.

Pertama, Span of Control. Peran Menteri Keuangan Indonesia terlalu luas, dimulai dari sisi penerimaan dan sisi pengeluaran. Di mana-mana bendahara tidak bertugas mencari uang, namun mengelola uang yang masuk untuk dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya dan secermat-cermatnya. Untuk mengelola uang masuk dan memanfaatkan sebaik-baik dan secermat-cermatnya saja sudah merupakan tugas yang berat apalagi ditambah tugas mencari penerimaan. Oleh karenanya, mesin-mesin pencari uang negara seharusnya dilepaskan dari Kementerian Keuangan sehingga benar-benar fokus dalam mencari dana untuk pembiayaan mandiri.

Kedua Struktur dan Kewenangan. Menurut Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) menyebutkan seharusnya lembaga pemungut pajak memiliki kewenangan penuh dalam bidang SDM, Anggaran dan Organisasi agar dapat melaksanakan fungsinya dengan optimal. Best Practice di luar negeri seperti Singapura, Malaysia, USA, Inggris dan banyak negara maju lainnya, terlepas dari anggota OECD atau bukan sudah menerapkan hal tersebut dan terbukti sukses dalam mengandalkan pajak untuk pembangunan Negara.

Jika dibandingkan dengan kondisi saat ini, ketiga kewenangan yang seharusnya dimiliki oleh Direktorat Jenderal Pajak tersebut akan kontras dengan Ketentuan umum bentuk struktur dan Kepegawaian Kementerian hingga ke level unit terkecil dalam Kementerian  yang dikeluarkan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi dan akan kontras juga dengan ketentuan umum Anggaran yang mengacu pada aturan-aturan yang dikeluarkan oleh Ditjen Anggaran Kementerian Keuangan.

Oleh karenanya Ditjen Pajak tidak dapat berada dalam struktur Kementerian karena akan bertentangan dengan banyak aturan terkait SDM, Anggaran dan Organisasi. Pilihan terbaik adalah menjadikan Ditjen Pajak sebagai badan dengan aturan SDM, Anggaran dan Organisasi sendiri dan berada di bawah presiden langsung sehingga pengawasan dan tanggung jawab penerimaan pajak melekat kepada presiden secara langsung berikut juga kebijakannya.

Ketiga, SDM. Dirjen Pajak sering menyebutkan bahwa pegawai yang ada sekarang tidak cukup dalam usaha untuk meningkatkan penerimaan. Dengan posisi jumlah pegawai saat ini, yaitu kurang lebih 33 ribu pegawai yang rencananya kelak akan ditambah sampai dengan 60 ribu pegawai memberikan masalah tersendiri bila masih menjadi unit eselon I. Sekarang saja jumlah pegawai pajak sudah mencapai setengah Kementerian Keuangan apalagi jika ditambah dua kali lipatnya bahkan bisa dikatakan eselon I yang memiliki pegawai terbanyak adalah Ditjen Pajak.

Dengan pegawai sebanyak itu dan organisasi sesempit itu, akan terjadi mekanisme promosi dan mutasi yang ketat dalam tubuh eselon I. Piramida komposisi pegawai akan gemuk di tengah menunggu antrian untuk promosi sehingga pola karier pegawai menjadi lambat ditambah UU Aparatur Sipil Negara menambah masa pensiun. Artinya pegawai akan menjadi demotivasi karena sehebat apa pun dia bekerja, antrian yang dilalui untuk memperoleh jabatan sangat panjang. Akhirnya yang terjadi adalah pengunduran diri pegawai pegawai yang berkualitas dan mumpuni dalam menggali penerimaan negara. Mereka yang tadinya berada di sisi negara dalam mengumpulkan penerimaan sekarang berada di sisi yang lainnya yaitu pihak wajib pajak dan ilmunya dipakai untuk berhadapan dengan mantan rekan rekannya di Ditjen Pajak.

Perlu diketahui bahwa pajak merupakan proses bisnis yang sangat berbeda dari proses bisnis beberapa eselon I di lingkungan Kementerian Keuangan sehingga untuk melakukan mutasi antar eselon I memberikan risiko tersendiri. Butuh waktu yang tidak sedikit untuk menjadikan seseorang dapat menjadi pegawai pajak dan tentunya akan menambah ketatnya ruang yang tersedia dalam hal promosi dan mutasi.

Dirjen Pajak juga berkeinginan Pegawai DJP untuk tidak menjadi PNS lagi namun tetap di bawah Kementerian Keuangan. Hal tersebut sulit untuk dilakukan karena akan menjadikan pegawai pajak seperti Konsultan yang bekerja dengan atasannya, yaitu Kementerian Keuangan. Bila diandaikan terjadi maka 33 ribu pegawai DJP adalah pegawai swasta yang berada dalam perusahaan pajak dan dikontrak Kementerian Keuangan untuk mengumpulkan pajak. Risikonya banyak, salah satunya adalah pegawai non-PNS tadi sewaktu-waktu bisa mengundurkan diri setelah mengetahui seluk-beluk dan data pajak untuk kemudian bekerja ke perusahaan tertentu dan balik lagi butuh waktu untuk melatih pegawai yang baru. Apakah negara mau menunggu padahal saat ini butuh dana fresh untuk memakmurkan rakyatnya??

Keempat Anggaran, Menteri Keuangan selaku Bendahara Negara melakukan pengetatan anggaran sehingga seluruh kementerian dan lembaga harus memotong anggarannya tidak terkecuali Direktorat Jenderal Pajak. Tentu ada yang salah dalam hal ini, unit pencari uang seharusnya dibedakan pola anggarannya dengan unit-unit lainnya apalagi Ditjen Pajak mengemban tugas mencari 78% penerimaan untuk APBN, namun karena Menteri Keuangan adalah teladan dalam pengetatan anggaran, Ditjen pajak yang berada di bawah Kementerian Keuangan pun harus menerima konsekuensi diketatkan anggaran yang berarti semakin berkurang anggaran maka semakin kecil effort yang dapat dilakukan dalam mencari penerimaan. Bahkan menurut info yang didapatkan dari internal Kementerian Keuangan, Ditjen Pajak kebagian jatah lebih dari 40% dalam porsi penghematan Kementerian Keuangan dari 11 Unit Eselon I yang ada di Kementerian Keuangan. Hitungannya harus jelas, apakah penerimaan yang hilang lebih kecil dari anggaran yang dihemat. Jika tidak maka Negara dirugikan dalam hal kinerja peningkatan penerimaan pajak.

Manajemen yang baik seperti pernah diungkapkan salah satu Capres adalah memisahkan antara fungsi belanja dan fungsi pendapatan, karena jika tidak pasti akan menganaktirikan salah satu fungsi tersebut.

Kelima Koordinasi, Seperti yang disebutkan di atas, Menteri Keuangan khawatir bahwasanya akan terjadi masalah koordinasi jika Ditjen Pajak lepas dari Kementerian Keuangan. Menteri lupa bahwa Kementerian Keuangan bukanlah Kementerian Koordinator tetapi Kementerian teknis. Tentu jika melihat struktur kabinet sekarang, kementerian yang melakukan koordinasi di bidang ekonomi adalah Menkoperekonomian bukan Menteri Keuangan.

Namun mengingat peran strategis pajak dan bagaimana kebijakan pajak memiliki pengaruh pada dua sisi, yaitu penerimaan Negara dan stabilitas sektor ekonomi maka otorisasi mau memilih yang mana, seharusnya ada padaPresiden selaku atasan seluruh Kementerian dan Lembaga Negara dan sekaligus Koordinator seluruh kementerian dan Lembaga dan juga koordinasi di bawah Kementerian Keuangan pun tidak menjamin koordinasi akan berjalan dengan baik karena span of control Menteri Keuangan yang luas akan  membuat fokusnya terbagi.

Untuk hal hal yang paling strategis dalam pemerintahan, ada baiknya sebagaimana diamanatkan pembukaan UUD 1945 bahwa pemerintahan dibentuk untuk memajukan kesejahteraan umum, yang mana nantinya uang pajak tersebut ditujukan untuk kesejahteraan rakyat maka Pajak harus berada di dalam kewenangan presiden secara langsung dalam pelaksanaan dan tanggung jawab tanpa disunat atau didedikasikan ke bawahannya.

Keenam, Kebijakan Peningkatan Penerimaan Paling Realistis. Dalam skema pembiayaan mandiri, maka sektor penerimaan yang paling dominan adalah penerimaan pajak. Untuk Meningkatkan penerimaan pajak, pemerintah kelak dihadapkan dalam 2 pilihan yaitu meningkatkan tarif pajak atau memperkuat lembaga pemungut pajak.

Meningkatkan tarif pajak adalahpilihan paling mudah namun tidak fair serta memberatkan rakyat kecil dan Wajib Pajak existing, ibarat berburu di kebun binatang ditambah lagi ada trend tax competition dimana negara negara di suatu kawasan berlomba-lomba untuk menekan tarif pajak sehingga dapat memancing investasi di dalam dan luar negeri.

Oleh karenanya, kebijakan paling realistis adalah memperkuat otoritas perpajakan. Dengan institusi yang kuat, otoritas pajak dapat menggali potensi penerimaan pajak dari wajib pajak yang selama ini menghindar dalam pembayaran pajak dan atau mengecilkan nilai pajaknya. Keadilan pun dapat ditegakkan bagi rakyat kecil dan pembayar pajak yang patuh karena semua Wajib Pajak harus sama di mata hukum dan administrasi pajak.

Keenam hal ini merupakan beberapa alasan dari banyak alasan kenapa Ditjen Pajak harus terlepas dari Kementerian Keuangan dan menjadi Badan di Bawah Presiden. Bentuk badan dianggap sesuai karena dalam best practice di luar negeri mayoritas berbentuk badan di bawah presiden. Presiden selaku pemegang mandat rakyat sebagaimana disebutkan dalam pembukaan UUD 1945 bertanggung jawab terhadap kemakmuran rakyat yaitu mulai dari mencari penerimaan yang dipercayakan tugas tersebut kepada Badan Penerimaan Pajak dan mengelola uang tersebut agar dapat dioptimalkan untuk kepentingan rakyat yang dipercayakan tugas tersebut kepada Menteri Keuangan.

Tulisan ini murni bukan untuk membenarkan atau pun menyalahkan pernyataan pihak manapun terkait struktur lembaga pajak karena tidak ada yang benar atau salah dalam opini. Hanya  kegalauan saya saja ingin menyampaikan hal ini ke publik sehingga masyarakat Indonesia makin tahu dan aware akan alasan kenapa Ditjen Pajak harus lepas dari Kementerian Keuangan, dan akhirnya biarlah publik yang menilai.

Yang jelas kepentingan Rakyat harus diutamakan dan menang di atas kepentingan individu dan kekhawatiran atau ketakutan yang tidak berdasar serta ada solusinya. Sistem yang baik akan menghasilkan hasil yang baik juga. Contoh di luar negeri sudah ada,hampir seluruh lembaga pajak di dunia memiliki kewenangan SDM, anggaran dan organisasi untuk melakukan penyesuaian terhadap tantangan zaman dan berbentuk badan di bawah presiden bahkan ada yang menyebutkan organisasi pajak sudah JADUL dan adanya kesengajaan untuk dikerdilkan. Jangan berharap hal yang berbeda jika dilakukan dengan hal biasa. Sejahtera Indonesiaku, Kuat bangsaku. Merdeka!

referensi:

Pemisahan Direktorat Pajak Wewenang Pemerintah Baru

Ditjen Pajak Harus Keluar dari Kemenkeu

DPR Minta Pemisahan Ditjen Pajak Dibahas dalam RKP 2015

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline