Lihat ke Halaman Asli

Retty Hakim

Senang belajar dan berbagi

Warisan Terindah: 100 Tahun Penuh Syukur

Diperbarui: 30 Juli 2022   17:03

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Anak-anak dari Bernadette Wirayadi dalam peluncuran buku 100 Tahun Penuh Syukur, 23 Juli 2022 di Jakarta (dok: dr. Francinita Nati)

"Harta yang paling berharga, adalah keluarga..., Istana yang paling indah adalah keluarga...," demikian lirik lagu Harta Berharga (OST Keluarga Cemara). Kecintaan pada keluarga, perjuangan untuk menghidupi dan membesarkan keluarga adalah umum bagi orang tua, khususnya bagi seorang ibu yang biasanya paling disibukkan dengan urusan rumah tangga. 

Menjadi sangat istimewa ketika seorang ibu menceritakan perjalanan kehidupannya hingga menjelang usia 100 tahun. Sebuah buku biografi yang dibuat dengan tujuan berbagi kisah agar menguatkan anak dan cucu dalam setiap perjalanan kehidupan mereka. Suatu ajakan untuk senantiasa bersyukur dan saling menjaga sebagai keluarga. Sungguh, suatu warisan yang tidak ternilai.

Kemampuan Bernadette Wirayadi (Tan Sioe Eng) untuk bercerita, bahkan melalui zoom, untuk keperluan wawancara buku ini sangat mengagumkan untuk wanita seusianya. Kerendahan hatinya dan imannya pada Tuhan sangat kuat terpancar dalam kisah yang dibagikannya. 

Memang perjalanan kehidupannya harus terhenti beberapa bulan setelah ulang tahunnya yang ke-99. Walau demikian dalam penanggalan Tionghoa, melewati Imlek pertama dalam kehidupan seorang anak adalah tahun pertamanya, sehingga dalam kalender Tionghoa, usia Bernadette Wirayadi sudah melewati satu abad.

Buku yang ditulis bersama oleh Retty N. Hakim dan dr. Francinita Nati ini memang dituliskan dengan cara berkisah sang tokoh. Dr. Francinita Nati, yang dikenal dengan panggilan Francine, harus teliti memeriksa tahun-tahun dan penulisan nama-nama yang dikisahkan oleh ibundanya. 

Perjalanan panjang ibundanya yang hampir mencapai satu abad tentunya memiliki banyak fragmen yang menarik. 

Dr. Francinita Nati berbalut kebaya ibunda mengisahkan proses penulisan buku (dok: dr. Francinita Nati)

Keturunan Tionghoa Makassar yang lahir tahun 1922 di Kepulauan Aru dan besar di Makassar ini mengisahkan bagaimana keahliannya memasak akhirnya bisa membantu kehidupan keluarga. 

Bantuan suami dan anak-anak yang senantiasa bersatu, bahu membahu saling membantu merupakan pendukung utama keberhasilannya. Tidak lupa juga, beliau mengingat begitu banyak orang yang menjadi perpanjangan tangan Tuhan dalam menolongnya. 

Restoran Tamalatea  yang dulu beliau dirikan pernah menjadi restoran yang dikenal semua orang peranakan Makassar yang tinggal di Jakarta. 

Nasi campur Makassar dan berbagai masakan Makassar dan kue-kue tradisional Makassar menjadi makanan khas yang dicari orang ketika berada di daerah Pasar Baru atau Krekot.

Sempat membuka restoran Makassar di Singapura, beliau juga berbagi sedikit kisah bagaimana terpaksa tidak meneruskan restoran tersebut. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline