Lihat ke Halaman Asli

Retty Hakim

Senang belajar dan berbagi

Kenangan Menyeruak di Balik Gerhana Matahari Total

Diperbarui: 9 Maret 2016   16:42

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Foto Gerhana Matahari 1983 karya alm. Kie Abadi yang menghias sisi tangga rumahku"][/caption]

Rabu, 9 Maret 2016, ketika orang-orang sibuk mengejar pemandangan gerhana matahari total, saya merasa cukup memantau melalui televisi dan kelompok-kelompok di sosial media. Walau demikian saya sempatkan juga memantau keadaan di sekitar rumah. Kembali ke dalam rumah, tak sengaja mataku memandang ke salah satu foto di dinding rumah. Itu adalah foto kenangan dari gerhana matahari 11 Juni 1983 karya almarhum Kie Abadi, seorang fotografer profesional. Sebuah kenangan yang kugantung di antara foto-foto dan gambar kenangan lainnya.

Berada di Tangerang Selatan, tentunya tidak akan merasakan gerhana matahari total seperti yang dirasakan oleh teman-teman yang berada di Palembang, Palu, atau daerah-daerah lain yang benar-benar mengalami gerhana matahari total. Tapi, media sosial dan internet membantu saya untuk menyaksikan kejadian berharga ini. Ada begitu banyak orang yang memasukkan postingan mengenai pengalaman mereka melihat gerhana matahari.

Bagiku, pengalaman gerhana matahari kali ini memang sekedar terasa bagaikan mendung yang agak aneh. Di belakang rumahku terlihat semburat sinar matahari yang benderang, lebih terang dari suasana pagi hari biasanya, tetapi di bagian depan rumah yang menghadap ke Timur, walau mentari bersinar sangat menyilaukan mata, suasana langit terasa sedikit mendung. Saya tidak berani menatap matahari yang sangat silau itu. Saya hanya merasakan situasi mendung yang terasa beberapa menit.

Kenangan akan Kie Abadi, sang fotografer menyeruak. Foto yang diberikannya sebagai kenangan akan gerhana matahari total 1983 itu mungkin tampak biasa saja bagi mata awam di masa kini. Setangkai padi di latar depan, sementara gerhana matahari total berada di belakangnya. Bagi generasi masa kini yang terbiasa dengan sistem cropping dan editing, maka foto itu nampak biasa saja. Tapi, sementara menyaksikan berbagai macam pengabadian gerhana matahari melalui kiriman sosial media, baru terasakan betapa berharganya foto kenangan ini.

Pada tahun 1983, tidak semua orang berani memandang gerhana matahari. Tidak semua orang berkesempatan untuk pergi berburu gerhana dan memotretnya. Demikian juga momen untuk menangkap gerhana tersebut sangat singkat. Bagaimana seorang fotografer menangkap detail bulir-bulir padi sembari merekam kejadian gerhana matahari total tentunya membutuhkan kesabaran dan keahlian yang tinggi di masa itu.

Kini, bahkan ada yang mengabadikannya dengan kamera telpon selular. Betapa teknologi terus berkembang. Kecanggihan kamera semakin menunjang pengabadian gerhana matahari dengan lebih sempurna. Ada yang bahkan merekam gerhana melalui rekaman video. 

Seorang tante yang ikut mengenang foto karya Kie ini mengatakan, "Kie mangambilnya di sawah. Dia memang mengambil posisi dari bawah, di belakang setangkai padi."

Mengapa setangkai bulir-bulir padi? Apakah karena nasi adalah makanan pokok penduduk Indonesia? Sayang, saya tidak ingat menanyakan hal itu ketika diberi foto kenangan ini.

Dari foto yang tergantung di dindingku, selain memori, saya belajar adanya nilai-nilai kesabaran, nilai-nilai artistik dan simbolis yang mungkin ingin dikomunikasikan sang fotografer. 

 




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline