Lihat ke Halaman Asli

Retty Hakim

Senang belajar dan berbagi

Jurnalisme Warga Hanya untuk Warga yang Sudah Mapan?

Diperbarui: 26 Juni 2015   16:54

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

[caption id="attachment_114038" align="alignleft" width="300" caption="Media dan warga bisa berkembang bersama (dokumentasi Retty, dari Pembukaan Indonesia Japan Expo 2008)"][/caption]

Sebuah pernyataan dari seorang Kompasianer yang sedang kecewa dan ingin mengundurkan diri dari ranah menulis di Kompasiana menarik perhatian saya. Perkataan yang diungkapkan dalam tulisan Mas Taufik ini mengatakan asumsi Kompasianer tersebut bahwa penulis-penulis di Kompasiana adalah warga yang sudah mapan. Dalam keadaan tertekan dan merasa sendiri, penulis tersebut merasa tidak memiliki arti di Kompasiana. Saya mengerti bahwa dalam keadaan tertekan sang penulis merasa waktu yang dihabiskannya di Kompasiana adalah waktu yang mungkin bisa digunakannya secara ekonomis di tempat lain. Apakah jurnalisme warga hanya untuk warga yang sudah mapan? Hal itu membuat saya tertarik untuk berbagi pengalaman. Kebetulan, pertanyaan ini pernah mampir di kepala saya, walaupun saat itu saya tidak dalam keadaan kecewa kepada komunitas jurnalisme warga.

Seperti yang pernah saya tuliskan sebelumnya, menulis bagi portal jurnalisme warga internasional OhmyNews International (OMNI) tidak terlalu mudah. Tulisan saya “Indonesia - Japan Expo 2008 Topping the Celebration of 50 Years of Friendships, Grow together, redefining a better tomorrow” tidak mendapatkan posisi di halaman utama melainkan hanya di halaman utama kanal Berita Dunia (World). Tentunya kebijaksanaan klasifikasi penayangan merupakan rahasia senior editor yang menangani tulisan saya. Tetapi ada satu hal utama yang tidak saya penuhi waktu itu, yaitu kecepatan mengirim berita. Seusai mengunjungi pembukaan pameran (1 November 2008), saya mendahulukan menulis untuk portal jurnalisme warga Wikimu.com dengan judul tulisan “Indonesia Japan Expo 2008: Pesta Rakyat Dua Negara”. Tulisan itu saya dahulukan karena pameran sedang berlangsung, dan tentunya lebih penting bagi masyarakat lokal untuk mengetahui keberadaan pameran ini. Seringkali detail suatu acara baru terliput media setelah acara tersebut selesai, sehingga ketertarikan untuk datang mengikuti acara itu menjadi sia-sia. Itulah sebabnya penting bagi saya untuk mendahulukan portal lokal agar pembaca sempat berkunjung ke acara itu. Keesokan harinya (2 November 2008) barulah saya menyelesaikan tulisan untuk OMNI. Tulisan itu kemudian mendapat komentar suntingan dari editor senior dan langsung saya perbaiki serta saya kirimkan. Ketika saya mengirimkannya, tulisan itu sudah bisa terbaca di kotak Saengnamu yang berisi semua tulisan yang masuk (belum tersunting editor), tapi baru ditayangkan editor di halaman terbit OMNI (Ingul) pada tanggal 3 November 2008. Sudah lewat dua hari dari acara pembukaan.

Karena berhasil mendapat Press Release, rupanya gaya bahasa saya ketika menulis juga ikut terpengaruh. Hal ini mendapat perhatian editor karena saya mendapat catatan “first paragraph is a bit too ‘press release’ style could you rework it?” Saya diminta mengganti gaya bahasa yang terlalu mirip dengan gaya bahasa Press Release. Rupanya membaca Press Release bisa berpengaruh buruk juga, yakni menghilangkan ciri khas tulisan kita sendiri.

Mengapa saya memperkirakan bahwa tenggat waktu itu yang menjadikan tulisan saya tidak mendapat tempat di halaman utama? Karena cukup sering saya bermasalah dengan tenggat waktu. Sebagai ibu rumah tangga, kegiatan peliputan acara atau seminar sebenarnya merupakan waktu curian dari kegiatan harian yang saya anggap sebagai “me time” (waktu untuk diri pribadi). Jadi sepulang dari mengikuti acara itu tugas rutin sebagai ibu rumah tangga sudah menanti. Walaupun otak sudah penuh berisi ide cerita, tetap saja pekerjaan utama saya sudah menanti. Pernah tulisan saya ditolak mentah-mentah dengan alasan berita basi. Kesalnya pasti setengah mati, karena sebenarnya saya menulis untuk situs jurnalisme warga bersifat relawan, eh malah ditolak dengan alasan isi tulisan sudah basi. Kekesalan ini pernah saya ungkapkan secara samar di dalam blog saya (News will be news!), karena berita yang basi bagi orang lain belum tentu basi bila dibaca oleh orang yang belum pernah membacanya (menurut saya:)). Pernah juga tulisan saya tentang pemanasan global ditolak karena pandangan itu dianggap tidak memiliki dasar ilmiah yang kuat. Padahal ketika saya naikkan ke blog saya, tulisan itu mendapat tanggapan yang cukup baik dari pembaca yang memiliki minat terhadap lingkungan hidup. Menulis blog memang terasa lebih menyenangkan....

Kalau ingin berpacu dengan kecepatan berita (instan) tentunya selain memiliki waktu yang cukup maka ketersediaan fasilitas juga sangat mendukung. Koneksi internet saya yang sangat lambat sering menjadi masalah dalam menaikkan berita , terutama saat menaikkan foto-foto.Karena itu sempat terpikir oleh saya bahwa jurnalisme warga hanya diperuntukkan untuk orang-orang yang sudah mapan. Mapan dalam arti memiliki pekerjaan profesional yang mampu menyokong kegiatan peliputan mereka (baik dalam hal waktu dan kesempatan/acara, maupun subsidi biaya dan perjalanan). Tentunya akan lebih berguna lagi bila pewarta warga ini juga memiliki alat komunikasi canggih yang mampu membuatnya senantiasa cepat dalam proses transfer berita.

Vincent Maher yang pernah mengeluarkan pernyataan di tahun 2005 bahwa “citizen journalism is dead” (jurnalisme warga sudah mati) pernah menasehati saya bahwa menjadi blogger akan lebih menguntungkan daripada menjadi citizen reporter (pewarta warga). Bagi saya menjadi pewarta warga bukan berarti saya ingin menjadi wartawan, tetapi karena saya ingin menjadi narablog yang berbagi hal-hal yang berarti. Ternyata, dalam perjalanan selama lebih dari tiga tahun (sejak awal 2007) menyelami jurnalisme warga, terlihat juga betapa banyak hal remeh temeh yang menarik bagi blogger seringkali terluput dari pandangan bila saya terlalu berperan sebagai pewarta warga. Hal ini antara lain sempat dilontarkan oleh seorang wartawan Jepang yang membaca reportase saya di OMNI. Ia menginginkan saya lebih banyak mengambil sudut pandang warga, serta menggali lebih banyak hal detail yang menarik dari pameran itu. Keinginan memberikan reportase yang lengkap dan sempurna seringkali membuat hal detail terbuang karena akan menjadikan tulisan terlalu panjang. Padahal hal detail itulah kekuatan jurnalisme warga.

OMNI banyak membantu saya mengenali sisi-sisi penulisan jurnalistik, tetapi bagaimana menikmati keseharian sebagai blogger lebih diberikan oleh Wikimu.com dan pergaulan saya dengan para blogger. Perkembangan Kompasiana yang membuka pintu rumahnya dengan lebar, bahkan tanpa undakan editorial di pintu masuknya menarik perhatian saya. Kalau awal kehadiran saya di Kompasiana hanya sekedar untuk memantau kegiatan jurnalisme warga di portal ini, maka akhir-akhir ini saya banyak sekali belajar dari Kompasiana. Terlihat betapa jurnalisme warga masih terus berkembang, berevolusi ke arah kebutuhan warga dunia.

Apakah jurnalisme warga hanya untuk warga yang sudah mapan? Dari segi kecepatan menaikkan berita dan ragam peliputan bisa jadi pandangan itu memiliki kebenaran, tetapi tetap tidak mutlak. (Semoga saya bisa segera menuliskan sambungan tulisan ini…)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline