Hari ini saya memulai bacaan pagi hari dengan membaca Refleksi 44 Tahun Harian “Kompas”dari Pak Jakob Oetama. Kompas Minggu, 28 Juni 2009 hanya memuat tiga tulisan di halaman pertamanya, Pers: Refleksi 44 Tahun Harian "Kompas", Pop Ruwatan: Badai Pasti Berlalu (bagian dari pengisi acara ulang tahun harian Kompas) , dan Krisis Surat Kabar: Pelajaran di Tengah Prahara (sebuah refleksi dari kondisi harian cetak di negara Paman Sam). Sebagai ucapan selamat ulang tahun, saya jadi ingin mengenang pertumbuhanku bersama Kompas.
Tidak heran kalau saya begitu akrab dengan Kompas, rupanya usia kami tidak terlalu jauh berpaut. Ketika saya belajar membaca kira-kira usia Kompas sudah di atas balita. Terus terang saya tidak ingat apakah sejak dari Makassar keluarga kami berlangganan harian Kompas, atau hanya sejak pindah ke Jakarta bulan Juli 1974. Ingatan masa kecilku tidak terlalu cemerlang. Tetapi di balik banyaknya hal yang kulupakan saya tidak bisa melupakan bahwa minat membacaku terpupuk antara lain karena kehadiran harian Kompas.
Memang, sebagai anak kecil saya juga kenal majalah Bobo dan majalah Kuncung. Kemudian sebagai remaja saya kemudian juga mengenal majalah Hai, dan majalah Gadis. Tapi sementara hadirnya majalah-majalah itu tergantung dari kondisi keuangan orang tuaku, harian Kompas tidak pernah berhenti menemani pertumbuhanku.
Sebenarnya saya juga tidak ingat apa saja yang saya baca sebagai anak kecil, dan kapan saya mulai “mencandu” Kompas. Yang saya ingat saya paling senang membaca komik Garth, menyimak "lelucon" Om Pasikom, lalu saya juga mulai membaca kolom psikologi M.A.W. Brower sampai akhirnya “jatuh hati” pada Leila Ch. Budiman. Saking senangnya sehingga mempengaruhi cita-cita saya, seandainya dahulu diterima Sippenmaru (penerimaan mahasiswa Universitas Negeri zaman saya) mungkin saya sudah menjadi psikolog. Walaupun akhirnya tidak menjadi psikolog, semua bacaan itu sangat banyak memperkaya saya dalam menjalani kehidupan.
Terkadang saya heran pada anak saya yang sulit untuk saya ajak membaca lembar “Kompas Anak”, padahal seingat saya zaman dulu tampilan Kompas tidak menarik sekarang tapi tetap saja menjadi rebutan di rumah.
Bacaan fiksi yang berbobot juga saya dapatkan dari cerber Kompas. Pernah ada teman yang bingung bagaimana saya bisa sampai membaca buku-buku karangan Shusaku Endo, maka lagi-lagi saya harus menengok pada harian Kompas yang memperkenalkannya lewat cerber "Diam". Mungkin juga ada pengarang-pengarang lokal yang awalnya juga saya kenal dari Kompas. Selain mengenal gaya bercerita seorang pengarang, saya juga banyak memperoleh pengetahuan tentang buku-buku melalui Pustakaloka Kompas.
Kompas menjadi tempat saya “berjalan-jalan” baik di dalam negeri maupun ke luar negeri. Kompas juga menjadi guru tambahan. Waktu saya masih SMP dahulu, guru olah raga saya senang sekali memberi kami tugas klipping dari surat kabar, mau tidak mau saya juga jadi rajin membaca kolom olah raga.
Sekarang anak saya juga sesekali masih mencari bahan untuk pelajaran sekolah dari surat kabar, tetapi yang sudah duduk di kelas lima SD lebih sering mencari bahan di internet. Walaupun demikian saya juga rajin membantu dia mencari bahan dari harian Kompas.
Cepat dan mudah. Mungkin itu alasan utama anak saya lebih suka mencari di internet. Tangannya tidak perlu kotor terkena tinta dari koran, tinggal google langsung mendapat berita atau gambar yang dia butuhkan. Padahal dalam proses mencari bahan klipping di koran, biasanya ada saja tambahan pengetahuan lain yang bisa diperolehnya.
Bagi saya sendiri kehadiran internet membantu saya untuk tidak menjadi “pemulung”surat kabar. Daya ingat saya tidak pernah sangat kuat, tapi biasanya saya ingat kalau pernah membaca tentang suatu hal di harian atau majalah tertentu. Kehadiran internet mempercepat saya mencari data tersebut, tanpa perlu menyediakan tambahan ruang untuk kumpulan klipping tersebut.
Sebuah tulisan saya ketika masih bergelut dalam jurnalisme kampus mengenai Bapak P.K. Ojong almarhum membuat banyak teman berkomentar memuji. Mungkin karena merasa sangat dekat dengan harian Kompas, maka tulisan itu bisa mengena di hati banyak orang. Tetapi terus terang hal itu menambah semangat saya dalam menulis.
Sekarang saya ikut serta meramaikan internet dengan ikut berbagi sebagai blogger, juga sebagai pewarta warga. Ketika diundang ke pertemuan para pewarta warga OhmyNews International di Seoul tahun 2007 yang lalu, seorang rekan pewarta warga dari Amerika Serikat sudah membisikkan kecenderungan peralihan ke media internet. Saat saya berkomentar masih lebih suka media cetak, dia tertawa dan menyarankan agar tidak terdengar oleh peserta lain yang lebih muda.