membaca buku (www.manitoba.cmha.ca) Judul tulisan saya ini sungguh-sungguh terjadi dalam alur kehidupan saya yang hendak memasuki usia 37 tahun. Paling tidak hal tersebut terjadi selama 7 jam menunggu jadwal masuk ruang operasi. Tanggal 30 Juni 2011 yang lalu, saya dijadwalkan masuk kembali ke ruang operasi kali keempat. Kali ini untuk mengangkat/mengambil platina yang pernah dipasang di tangan kiri saya akibat kecelakaan sepeda motor pada 14 september 2006. Sejak awal dokter menetapkan tanggal operasi saya sudah berpikir untuk memanfaatkan waktu menunggu jadwal operasi dengan membaca buku. Setelah mengalami 3 kali operasi saya cukup tahu bagaimana suasana hati yang tidak karu-karuan menunggu saat masuk kamar operasi. Yang jelas sangat sulit mencapai kondisi kejiwaan yang tenang . Rasa takut, khawatir sangat dominan menguasai keadaan rohani . Menurut saya disamping persiapan rohani dengan banyak berdoa, membaca buku mampu mengalihkan perhatian saya tehadap hal-hal negatif sehingga tetap bisa fokus dan berpikir positif . Maka, ketika datang ke rumah sakit pada Kamis pukul 12,00 untuk operasi tersebut saya menyelipkan 3 buah buku diantara baju dan mukena di dalam tas. Benar saja, setelah mendaftar mendapat kamar di bangsal saya terjebak dalam kesendirian. Suami minta izin untuk melanjutkan pekerjaan yang tertunda. Apa yang terjadi kalau saja saya tidak membawa buku ? Pasti saya akan melamun, pikiran melayang kemana-mana , beruntung bila saya tidak terjebak dalam lamunan yang buruk . Karena tidak jarang lintasan pemikiran tentang hal yang buruk hadir seperti operasi yang gagal bahkan sampai pada kematian hiih serem... Nah, tak mau terjebak dalam kondisi seperti diatas saya mulai membaca . Membaca buku merupakan hobi saya sejak masih SD. Keadaan ekonomi keluarga orang tua saya yang pas-pasan tidak memungkinkan saya untuk membeli apalagi mengoleksi buku. Tapi keadaan tesebut tidak menyurutkan keinginan saya untuk tetap membaca. Maka saya menjadi anak yang punya jadwal meminjam majalah Bobo, atau buku-buku baru teman-teman saya yang nb adalah anak orang kaya. Sungguh saya masih beruntung memiliki teman yang kaya tapi berbaik hati secara rutin meminjamkan bukunya kepada saya. Menginjak SMP, SMA saya mulai menjadi anggota tetap rental buku dan tentu saja perpustakaan sekolah. Menjadi anak dari keluarga sederhana tenyata membentuk saya menjadi pibadi yang tidak telalu banyak mengeluh dan bisa menerima semua hal apa adanya. Termasuk , saya tetap bisa menemukan buku yang sesuai untuk saya diantara ketebatasan koleksi buku perpustakaan sekolah. Buku sastra seperti Burung-Burung Manyar, Atheis, Belenggu , Pada Sebuah Kapal, saya baca di perpustakaan sekolah. Sedang buku populer seperti Lupus, Senopati Pamungkas, Wiro Sableng , bahkan buku silat Kho Ping Ho saya baca dari tempat persewaan buku. Nah.. dari banyak membaca buku selera gado-gado itu saya sampai pada kesimpulan sebuah buku memberi tambahan ilmu bagi saya dalam banyak hal. Membaca buku berarti memperluas cakrawala pemikiran kita. Saya baru bisa mulai membeli dan mengoleksi buku ketika menjadi guru. Sejak itu saya sediakan dana khusus untuk membeli buku setiap bulannya. Operasi pengambilan platina baru akan dilaksanakan pada pukul 20.00 WIB. Ada banyak waktu luang bagi saya untuk menunggu . Buku yang sengaja saya bawa untuk menemani kesendirian menunggu jadwal operasi adalah sebuah buku baru dari seorang petualang Agustinus Wibowo yang berjudul Garis Batas . Buku ini saya beli di awal bulan Mei tapi belum mampu saya selesaikan karena kesibukan sebagai seorang guru dan wali kelas dalam menyambut akhir tahun pelajaan 2010/2011. Baru separo membaca buku tersebut saya sangat takjub dan bermimpi bisa berpetualang di negeri-negeri Asia Tengah seperti penulis buku tersebut .Pengetahuan dan pengalaman penulisnya memaparkan bahwa sungguh tak tebatas dan beraneka ragam budaya di luar sana . Bahwa bukan hanya di Indonesia terjadi korupsi , keterbelakangan. Buku kedua dan ketiga adalah buku "lama " yang baru saja saya beli dari obral buku di Toko Buku Gramedia yaitu Seri Kesatria Hutan Larangan Pangeran Anggadipati dan Raden Banyak Sumba karya Saini K.M. Membaca buku saya serasa kembali pada masa SMA saat membaca Senopati Pamungkas karya Arswendo Atmowiloto . Buku sejarah yang diramu dengan bagus oleh pengarangnya Ketiga buku itu saya baca bergantian. Mungkin pembaca bingung membayangkannya. Jadi meskipun memang sengaja membawa buku untuk menemani kesendirian ,tapi saya tidak melulu datang ke rumah sakit hanya untuk membaca bukan ? Disela-sela perawat yang memasang infus di tangan kanan saya, mengetes obat antiseptik di tangan kiri saya, mengukur tekanan darah , saya membaca. Terbukti membaca buku mampu mengalihkan perhatian saya dan mengisi waktu luang menunggu saat operasi. Sedikit saja terbesit pemikian negatif segera saja saya membenamkan diri dengan membaca buku. Waktu menjadi terasa singkat dengan membaca buku. Saya pikir saya telah menjalankan apa yang pribahasa bilang sekali merengkuh dayung dua tiga pulau terlampaui. Sambil menyembuhkan diri, mengembalikan kondisi tubuh menjadi "normal" saya menyelesaikan membaca buku sekaligus mendapat ilmu yang berlimpah-limpah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H