KABAR DUKA BUKAN AKHIR SEGALANYA
Terjadi sebuah percakapan singkat antara pasangan suami istri di ruang perawatan pasien covid19. Meskipun dialog itu hanya sebentar namun membuat suasana menjadi tegang dan kurang menyenangkan. Suami yang telah dirawat sebelumnya hanya pasif tanpa berkata-kata apapun ketika sang istri dengan nada marah tampak tidak bisa menerima saat hasil tes PCR miliknya menunjukkan confirm covid 19.
Istri beranggapan suaminyalah yang menulari dan hal tersebut membuatnya jadi takut apabila nanti akan dikucilkan oleh lingkungan sosialnya, pikirannya menjadi blocking tidak tahu harus bertindak apa.
Sementara itu pada kesempatan yang berbeda, ada pernyataan dari si suami yang mengatakan bahwa ia selalu taat menerapkan 3 M (memakai masker, mencuci tangan dan menjaga jarak) bahkan secara berkala melakukan rapid tes atau uji swab mengingat aktivitas pekerjaannya sering keluar kota. Jadi ia juga tidak yakin bahwa dirinyalah yang membawa virus tersebut. Namun demi menghindari konflik berkepanjangan ia memilih untuk diam tidak meladeni istrinya yang sedang emosional.
Dalam situasi tersebut tampak beberapa tenaga kesehatan berusaha untuk menenangkan kedua belah pihak namun sepertinya tidak berhasil. Akhirnya mereka saling diam dan larut dalam pikiran masing-masing sambil mengikuti arahan dari petugas terkait dengan perawatan yang harus mereka jalani.
Fenomena seperti pada kasus diatas sebenarnya juga terjadi di beberapa tempat yang lain. Sering kita mendengar berita dimana ada seorang yang dinyatakan sudah confirm covid19 namun tidak percaya karena tidak bergejala dan merasa baik-baik saja.
Dibutuhkan usaha dan edukasi yang cukup panjang untuk menjelaskan kepada golongan masyarakat ini. Kembali pada contoh kasus tadi, apabila ditelaah lebih lanjut tampak kalau sepasang suami istri ini kedua-duanya masih berada dalam fase belum bisa menerima.
Berdasarkan pengalaman penulis yang kebetulan juga konselor HIV/AIDS, fase seperti ini sering dijumpai ketika pasien HIV pertama kali diberitahu bahwa dirinya positif terkena virus HIV. Itu sebabnya kenapa pada kasus penanganan HIV/AIDS ada proses konseling atau biasa disebut VCT ( Voluntere Counseling and Testing ) sehingga mereka akan lebih siap mentalnya jika hasilnya reaktif dan harus menjalani pengobatan seumur hidup serta menghadapi stigma yang mungkin timbul.
SEBERAPA SIAP MENERIMA BERITA TIDAK MENYENANGKAN ?
Ada pepatah bijak yang mengatakan bahwa hidup seperti roda yang berputar, kadang diatas dan kadang dibawah. Begitu juga dengan manusia, ada kalanya merasa senang namun ada saatnya juga merasa berduka. Seberapa siap kita dalam menerima kabar buruk ?
Menurut Kubler Ross (1998) yang juga merupakan seorang dokter jiwa, ada 5 tahapan dalam menghadapi kedukaan yang dialami oleh seseorang yaitu :