Wanita itu hanya diam menunduk sambil sesekali mengusap air matanya. Setelah beberapa saat terlihat tenang, dengan suara terbata-bata mengatakan bahwa rumah tangganya sudah hancur, masa depan anak-anak berantakan. Wajahnya tampak lelah dan menahan beban berat karena sudah beberapa minggu ini sering menangis dan hanya mengurung diri di kamar. Dunia terasa berhenti berputar, enam belas tahun bahtera rumah tangga yang diarungi jadi luluh lantak berantakan dalam waktu seketika.
Maraknya kasus perselingkuhan yang terjadi akhir-akhir ini seperti sudah menjadi hal yang lumrah hampir diseluruh belahan dunia. Di Indonesia sendiri angka perceraian yang disebabkan oleh kasus perselingkuhan juga mengalami peningkatkan secara signifikan. Sebagai contoh seperti kejadian di kabupaten Serang, mengutip pernyataan Ketua Pengadilan Agama Serang Dalih Effendy mengatakan, masyarakat yang mengajukan cerai ke Pengadilan Agama pada tahun 2018 dan 2019 jumlahnya tidak jauh berbeda yaitu sekitar 2.500-an. Penyebab kasus perceraian banyak, ada faktor ekonomi, faktor ketidakharmonisan yang disebabkan adanya orang ketiga atau perselingkuhan, dan sepertinya yang lebih banyak ( dalam fin.co.id).
Adanya ancaman hukuman pidana bagi pelaku sepertinya tidak menyurutkan niat dari pelaku untuk tetap melakukan hubungan perselingkuhan. Meskipun tidak tersirat secara langsung namun hal tersebut diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP ) yakni pelaku pada kasus perselingkuhan dapat dikenakan pasal 284 ayat (1) angka 1 huruf a KUHP diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan.
Namun dalam kenyataannya banyak korban perselingkuhan yang enggan untuk meneruskannya ke jalur hukum. Apalagi dijelaskan dalam KUHP pasal 284 ini merupakan suatu delik aduan yang absolut, artinya tidak dapat dituntut apabila tidak ada pengaduan dari pihak suami atau isteri yang dirugikan. Ketika pihak yang dirugikan memilih diam tentu saja persoalan tersebut sulit untuk mendapat jaminan penyelesaian dari negara.
Bell (dalam Sari, 2012) menjelaskan beberapa penyebab atau alasan seseorang terlibat dalam perselingkuhan, yaitu:
- Mencari variasi baru pengalaman seksual
- Melakukan pembalasan atas ketidaksetiaan pasangan
- Menentang norma monogami; menunjukkan penolakan terhadap norma masyarakat yang dianggap membatasi kebebasannya
- Mencari kepuasaan emosional yang tidak tepenuhi dalam perkawinan
- Memiliki hubungan persahabatan dengan seseorang diluar perkawinannya
- Suami atau istri mendorong hubungan gelap tersebut; biasanya suami mendorong istri melakukan hal yang sama. Contohnya 'mate swapping' dan 'swinging' (saling bertukar pasangan)
- Membuktikan bahwa masih muda dan menarik
- Terlihat hanya untuk memperoleh kesenangan
Bayang-bayang gangguan psikologis
Perselingkuhan adalah salah satu faktor penyumbang memburuknya hubungan dalam sebuah keluarga dan kesehatan. Menurut riset dari Medical daily (dalam theasianparent) melaporkan dari studi terbarunya bahwa seseorang yang menjadi korban perselingkuhan memiliki potensi menderita penyakit mental depresi dan kecemasan yang lebih besar daripada mereka yang belum pernah diselingkuhi.
Rasa sedih dan sakit hati akibat pengkhianatan dalam ikatan pernikahan dapat menyebabkan stress berkepanjangan, mengingat peristiwa tersebut sangat menguras emosi dan tidak bisa dianggap selesai meskipun sudah ada upaya perdamaian dan saling meminta maaf dari pihak terkait. Apabila hal ini tidak segera dituntaskan maka dapat memicu munculnya berbagai penyakit fisik ataupun psikologis.
Hasil riset kesehatan dasar (Risketdas) tahun 2018 oleh Kementerian Kesehatan RI menunjukkan, prevalensi depresi total penduduk yang berusia lebih dari 15 tahun Indonesia mencapai 6,1%. Diketemukan juga bahwa perempuan juga lebih rentan terhadap depresi daripada laki-laki. Melihat prosentasi tersebut tentu saja ini sudah merupakan suatu sinyal yang perlu diwaspadai bahwa perselingkuhan dapat menjadi salah satu penyumbangnya.
Masyarakat awam banyak yang belum memahami mengenai munculnya gejala gangguan depresi, bahkan masih dianggap bukanlah sesuai yang penting dan perlu mendapat perhatian khusus. Padahal kalau dapat segera ditangani sedari awal tentu saja akan lebih mudah untuk mendapatkan penanganan secara lebih cepat dan tepat.