Lihat ke Halaman Asli

Akhir Zaman

Diperbarui: 18 Februari 2019   15:33

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Akhir Zaman
By : Retno Qren

Inilah yang paling menyenangkan tinggal di desa, bisa menikmati waktu pagi hari bersama dengan istri tercinta. Dulu, awal menikah, aku tinggal di Ibu Kota Negara Indonesia, dengan berprofesi sebagai mantri. Tidak kuat dengan kemacetan dan polusi Jakarta, kami memutuskan kembali ke kampung halaman. Melanjutkan karir di Puskesmas Desa Sukadana.

Selain itu, masjid di sini rutin mengadakan pengajian taklim setiap minggunya. Istriku senang sekali datang untuk mendengar ceramah. Sekaligus bertemu dan bershilaturahim dengan ibu-ibu. Namun, sangat disayangkan praktek meminta di depan kuburan keramat atau memakai jimat untuk kesembuhan, masih banyak dilakukan warga. Kadang aku heran, di tengah moderenisasi saat ini, masih ada saja yang percaya hal seperti itu. Bahkan, takhayul dan mitos sangat berkembang di sini. Tidak sedikit pula dikaitkan dengan agama.

Selepas subuh, kami menonton berita pagi di salah satu saluran televisi nasional. Tidak lupa secangkir kopi yang masih mengepulkan asap dan kudapan berupa ubi dan singkong rebus menemani.

"Ada-ada saja, tukang cukur ngaku jadi nabi." Komentarku ketika melihat pewarta membacakan salah satu headlinennya.

"Lah, sebulan yang lalu, guru TK ngaku jadi Maryam. Malah dia bilang didatengi Malaikat Jibril. Sekarang dia punya kerajaan tuh." Wanita di sampingku tak kalah sengit menimpali pembicaraan.

"Aneh-aneh saja orang zaman sekarang. Udah gitu ada yang ngikutin lagi." Aku menggelengkan kepala, menertawai tingkah pola manusia saat ini.

"Iya, namanya juga akhir zaman."

***
Rumah yang kami tinggali terletak di sebuah desa dataran tinggi. Diapit oleh dua gunung dengan jarak berjauhan. Anginnya sejuk karena masih banyak pepohonan dan sawah. Untuk sampai di puskesmas tempatku bekerja, harus menggunakan sepeda motor selama kurang lebih sepuluh menit.

Saat ini sedang musim kemarau, udara menjadi lebih dingin dari biasanya. Namun, matahari bersinar lebih terik. Sepanjang perjalanan, aku melihat hamparan sawah yang telah menguning. Bukan karena masa panen akan datang, akan tetapi kemarau yang melanda di desa membuatnya gagal tumbuh dan berkembang. Saluran irigasi yang mengalirkan air ke sawah warga pun mengering. Tanah tidak tercukupi air, sehingga terbelah menjadi beberapa bagian.

Sudah hampir sembilan bulan kemarau melanda desa ini. Ikan-ikan di balong sebelah rumah mengambang mati. Hal itu dikarenakan, sebagian besar warga masih mengandalkan kolam ikan sebagai saluran akhir pembuangan. Hanya beberapa rumah yang memiliki tangki septik. Bau amis ikan mati dan tinja menimbulkan aroma tidak sedap yang menyengat. Menyatu dengan udara yang sedang kuhirup kini.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline