Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender (LGBT) menjadi topik hangat dan semakin marak diperbincangkan, baik di Indonesia pada khususnya, maupun dunia pada umumnya. Fenomena ini merupakan suatu tren dan budaya asing. Amerika Serikat menjadi negara yang dengan terang-terangan mengenalkan validitas LGBT ke seluruh penjuru dunia dengan berlandaskan pada penegakan hak asasi manusia (HAM) (Hulu dan Suyastri, 2019).
Di era globalisasi ini banyak negara yang telah melegalkan dan mengakui keberadaan LGBT dan hal ini tidak lepas dari kemajuan teknologi dan informasi sehingga fenomena LGBT dengan mudah menyebar ke berbagai negara di dunia termasuk Indonesia. Secara tidak langsung era globalisasi mampu memengaruhi sikap dan perilaku bangsa Indonesia untuk meninggalkan kebiasaan dan norma yang sudah tertanam sejak dulu di bumi Indonesia lalu mencoba mengadopsi kebiasaan, kebudayaan, dan nilai-nilai dari bangsa luar. Padahal tidak semua budaya asing mampu diterapkan di Indonesia salah satunya adalah LGBT.
Masuknya fenomena LGBT di Indonesia menimbulkan perdebatan di kalangan masyarakat sehingga muncullah pro kontra terhadap fenomena ini. Di kalangan masyarakat umum terdapat dua sudut pandang mengenai fenomena LGBT yaitu, masyarakat yang menerima adanya kaum LGBT dan masyarakat yang tidak menerima pribadi maupun tingkah laku kaum LGBT.
LGBT merupakan suatu fenomena yang keberadaannya menarik perhatian masyarakat di Indonesia. Fenomena ini berawal pada akhir tahun 1960-an, saat gerakan LGBT berkembang melalui kegiatan pengorganisasian yang dilakukan oleh kelompok wanita transgender atau yang kemudian dikenal sebagai waria, penyebarannya terjadi melalui media cetak dan pembentukan kelompok-kelompok kecil (Dacholfany dan Khoirurrijal, 2016).
Istilah LGBT mulai muncul pada tahun 1990-an menggantikan istilah sebelumnya yang dikenal dengan "komunitas gay". Berdasarkan hal tersebut dapat dikatakan bahwa keberadaan kelompok dengan orientasi seksual yang menyimpang ini tidak bisa diremehkan (Yansyah, 2018). Gerakan kelompok LGBTQ di Indonesia khususnya di kota-kota besar mulai menyasar atau mencari target baru untuk menjadi anggota kelompok LGBTQ terutama pada usia remaja (Rahmawati & Riswanda, 2022). Indonesia merupakan negara dengan populasi LGBT terbesar ke-5 di dunia, hal ini didasarkan pada hasil survey CIA (Hasnah & Alang, 2019).
Fenomena LGBT terus meningkat tiap tahunnya di Indonesia. Hal ini dapat dilihat berdasarkan hasil survei yang dilakukan oleh Kementrian kesehatan pada 2009-2013 di 13 kota di Indonesia, tercatat bahwa laki-laki yang berhubungan dengan sesama jenis meningkat drastis (Pranata, 2015). Beberapa lembaga survei independen dari dalam dan luar negeri menyatakan bahwa 3% penduduk Indonesia adalah LGBT, artinya 7,5 juta dari 250 juta penduduk mengalami penyimpangan orientasi seksual atau disebut dengan LGBT. Berdasarkan hasil survei SMRC yang dilakukan pada Maret 2016, September dan Desember 2017 dengan responden sebanyak 1.220 orang didapatkan hasil bahwa lebih dari sebagian penduduk Indonesia menganggap LGBT adalah suatu ancaman dan dikategorikan sebagai bencana sosial yang dapat merusak moral remaja. (Kholisotin & Azzakiyah, 2021).
Seorang anggota polisi berpangkat Brigadir Polisi (Bripda) inisial AN di Kota Kendari, ditangkap petugas Profesi dan Pengamanan (Propam) Polda Sulawesi Tenggara (Sultra) karena diduga terlibat kasus seks menyimpang atau LGBT.
Kepala Bidang (Kabid) Humas Polda Sultra, Kombes Pol Ferry Walintukan membenarkan bahwa oknum polisi Bripda AN diamankan petugas Propam atas dugaan penyimpangan seksual pada Rabu (10/1/2024). Penangkapan terhadap Bripda AN, lanjut Ferry, berdasarkan laporan dari Polda Sumatra Barat, terkait hasil pengembangan kasus LGBT yang sedang mereka tangani. Terkait sanksi yang akan diberikan kepada Bripda AN, lanjut Ferry sanksi terberat yakni Pemberhentian Tidak Dengan Hormat (PTDH) alias dipecat. Ferry menambahkan, berdasarkan hasil pengembangan, diketahui bahwa Bripda AN pada masa kecilnya pernah menjadi korban kekerasan seksual.
Selain itu, Pengadilan Militer II-08 Jakarta menjatuhkan hukuman penjara dan memecat dua sersan TNI karena kasus lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT). Dua prajurit itu yakni Sertu H dan Serda W.
Mereka terlibat dalam kasus yang berbeda. Mengenai kasus Sertu H, dia terbukti melakukan tindakan penyimpangan seksual terhadap prajurit lainnya lebih dari satu kali. Sementara, Serda W salah satunya disebut melakukan perbuatannya pada September di kantor wilayah Kwitang. Saat itu, Serda W meminta salah satu saksi untuk melakukan onani bersama. Permintaan itu sempat ditolak saksi.