Pada 14 September 2020, Juru Bicara Kementerian Luar Negeri RI Teuku Faizasyah mengatakan kepada CNBC Indonesia bahwa Kementerian Luar Negeri RI telah memanggil perwakilan Tiongkok di Jakarta untuk membahas masalah klaim Tiongkok di Pulau Utara, Pulau Natuna.
Pasalnya, Kapal Penjaga Pantai China 5204 bertekad berpatroli di kawasan sembilan garis putus-putus yang bersinggungan dengan ZEE Indonesia. Dalam praktik diplomasi, berbagai upaya dilakukan, termasuk Kementerian Luar Negeri yang memanggil perwakilan asing. Tiongkok meyakini permasalahan tersebut hanya dapat diselesaikan melalui komunikasi yang baik antara Tiongkok dan Indonesia, yang memiliki pertukaran diplomatik mengenai masalah Laut Cina Selatan, di utara Kepulauan Natuna.
Juru Bicara Presiden Fadjroel Rachman mengatakan pemerintah Indonesia mengambil sikap tegas dengan mengedepankan diplomasi damai. Terakhir, Indonesia dan China sepakat untuk menyelesaikan permasalahan di wilayah utara Kepulauan Natuna dengan menyelesaikan perselisihan tersebut secara damai, termasuk melalui mediasi Indonesia dan Tiongkok sepakat untuk saling menghormati wilayah maritim dan hukum internasional. Saat itu, Indonesia tidak mengakui sembilan garis putus-putus yang diklaim secara sepihak baik dalam hukum nasional maupun hukum internasional, dalam hal ini UNCLOS 1982.
Saat itu, Indonesia tidak akan mengangkat perselisihan ini sebagai salah satu negara ASEAN, khususnya Filipina dihadapan Pengadilan Arbitrase Permanen (PCA) dengan alasan Indonesia yakin tidak mempunyai sengketa wilayah atau perselisihan dengan Tiongkok (Ardila dan Putra, 2021).
Peta laut yang telah dibuat Republik Rakyat Tiongkok (RRT) dengan garis yang disebut "nine dash line" berubah menjadi "ten dash line" seolah memberikan kuasa atas wilayah laut yang lebih dari ketentuan Internasional. RRT mengklaim hal ini meskipun telah meratifikasi UNCLOS 1982 sehingga dengan kata lain Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) negara yang bersinggungan tidak diakui oleh RRT terutama Indonesia.
Wilayah nine dash line meliputi Kepulauan Paracel yang juga diklaim Vietnam dan Taiwan sampai laut Kepulauan Spatly padahal RRT bersengketa dengan Vietnam, BruneI Darussalam, Malaysia dan Filipina namun dimenangkan Filipina. Laporan Asia Maritime Transparancy Initiative berdasarkan Centre for Strategic and International Studies (CSIS) bahwa Badan Informasi Sumber Daya Alam dan Energi AS mencatat Laut Cina Selatan memiliki 5,3 Triliun meter kubik cadangan gas dan 11 miliar barel minyak di sepanjang wilayah Laut Cina Selatan yang disengketakan. Sedangkan pada tahun 2012 Badan Survei Geologi AS memperkirakan 4,5 triliun meter kibik gas alam cair dan minyak berada dibawah Laut Cina Selatan sebanyak 12 miliar barel.
Sebagian besar negara di dunia mengakui dan menggunakan Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS) tahun 1982 sebagai landasan hukum dalam menentukan batas wilayah perairannya, sedangkan Tiongkok menggunakan peta 9 garis yang dibuat oleh negara tersebut dan berasal dari sejarah Tiongkok kuno wilayah kerajaan mereka.
Menurut Tiongkok, Dinasti Han-lah yang menemukan kawasan ini pada abad ke-2 Masehi. Pada abad ke-12, Dinasti Yuan memasukkan Laut Cina Selatan dalam peta wilayahnya, yang kemudian dikonsolidasikan oleh Dinasti Ming dan Qing pada abad ke-13. Pemerintahan Kuomintang pada tahun 1947 digambarkan pada peta Tiongkok dengan 11 garis putus-putus dan memasukkan Laut Timur sebagai wilayahnya.
Klaim Tiongkok hanya didasarkan pada pengakuan historis atas kepemilikan perairan di Laut Cina Selatan, termasuk ZEE Laut Natuna Utara, yang dianggap sebagai zona penangkapan ikan tradisional dan tumpang tindih dengan klaim lain mengenai ZEE Indonesia. Pada 18 Mei 1956, pemerintah Indonesia resmi mendaftarkan Kepulauan Natuna sebagai wilayah kedaulatan ke PBB.
Ada 4 sikap dan langkah Indonesia dalam menyikapi permasalahan tersebut, yaitu: Pertama, meningkatkan kegiatan ekonomi di sekitar ZEE atau perairan Natuna. Kedua, Indonesia menolak klaim penguasaan Laut Natuna Utara berdasarkan sembilan garis putus-putus. Ketiga, operasi akan gencar dilakukan Tentara Nasional Indonesia (TNI) di Laut Natuna.