Problematika Revisi Undang-undang Penyiaran Indonesia
Revisi undang-undang penyiaran Kembali menjadi perdebatan usai kemunculan draf revisi undang-undang penyiaran yang dianggap menjadi problematika karena beberapa poin didalamnya.
Pengusul RUU Penyiaran, Wakil Ketua Komisi I DPR RI, Abdul Kharis Almasyhari dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS), menilai bahwa substansi UU nomor 32 tahun 2002 tentang penyiaran sudah tidak dapat lagi mengantisipasi perkembangan kemajuan teknologi penyiaran, khususnya terkait perubahan sistem penyiaran analog menjadi penyiaran digital.
Usulan tersebut berawal dari tahun 2012 lalu dan Kembali di bahas pada oktober 2023 lalu.
Namun dengan adanya usulan RUU Penyiaran tersebut, berdatangan protes dari banyak pihak. RUU tersebut dianggap akan menghalangi kerja jurnalisme, mengerbiri kebebasan berpendapat dan membatasi ruang berkarya di industri kreatif.
Seperti halnya yang disebutkan dalam Pasal 34 Ayat 2 : "mengatur bahwa penyelenggara platform digital penyiaran dan/atau platform teknologi penyiaran lainnya wajib melakukan verifikasi konten siaran ke KPI sesuai dengan Pedoman Perilaku Penyiaran (P3) dan Standar Isi siaran (SIS)."
Juga Pasal 34A - Pasal 36B: Bab ini berisi pasal-pasal yang menyangkut platform digital penyiaran. Dalam konteks ini, platform seperti YouTube, Instagram, dan TikTok juga terkena dampaknya.
Kewajiban verifikasi konten ke KPI dapat membatasi kreativitas para kreator di platform tersebut.
Selain dianggap berdampak kepada media berbasis online, content creator RUU tersebut dianggap mengancam ivestigasi jurnalis. Dalam draf RUU Penyiaran pasal 50B ayat 2 huruf C menyebutkan bahwa adanya larangan tayangan esklusif jurnalisme investigasi.
Draf RUU tersebut diajukan dengan alasan larangan tersebut dapat mencegah terjadinya monopoli penayangan esklusif jurnalisme investigasi yang hanya dimiliki satu media, alasan lainnya disebutkan bahwa pasal tersebut berguna untuk mencegah upaya mempengaruhi opini publik atau proses penyelidikan yang dilakukan oleh aparat.