Lihat ke Halaman Asli

Jangan Sampai Demokrasi Merusak Pancasila Kita

Diperbarui: 4 Juni 2021   18:54

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

dok. BPIP

Hampir dua puluh tahun ini kita masuk pada era yang paling membahagiakan bagi iklim demokrasi. Kebebasan (berpendapat) yang selama 32 tahun terkekang oleh orde baru, menemukan muaranya saat masuk pada era reformasi.

Saat itu orang boleh dengan bebas berpendapat berbeda dengan yang lain; jadi tak harus sama bahkan dengan pemerintah sekalipun. Hal itu juga didukung oleh presiden terpilih waktu itu yaitu Gus Dur dan dilanjutkan oleh Megawati. Gus Dur yang punya sikap moderat secara nyata bisa menerima perbedaan. Gus Dur dikenal sebagai bapak pluralisme.

Hanya saja setelah masa itu, kita terjebak pada kebebasan berpendatan yang --nyaris tanpa batas. Entah itu masalah politik, sosial, budaya bahkan agama. Beberapa pihak menyatakan bahwa mereka menemukan kebenaran melalui informasi yang mereka raih dari kemajuan teknologi. Lalu media sosial juga memperkeruhnya.

Purifikasi agama misalnya. Ini menuntut agar pemeluk melakukan hal-hal seperti pada zaman Nabi Muhammad. Awalnya pada soal-soal remeh temeh namun kemudian lebih jauh menjangkau hal-hal yang sudah mengakar di Indonesia  yaitu pertemuan antara budaya dan agama.

Demokrasi politik juga membuat suasana menjadi memanas manakala politik identitas dimainkan. Politik identitas di sini adalah pemilihan kepala daerah atau angggota legislatif dengan memainkan isu identitas antara lain suku dan agama; dua hal yang wajar berbeda di Indonesia yang sangat berbineka dan berdasarkan Pancasila.

Identitas warga Indonesia digosok terus menerus sehingga menimbulkan keyakinan untuk membenci pihak lain yang berbeda. Mereka diadu domba demi kepentingan pragmatis yaitu meraih kekuasaan. Banyak partai dan pihak yang melakukan itu , dan berlangsung sampai sekarang.

Ini membuat kita terpecah dan kenyataannya memang demikian. Kita bisa lihat di pilpres 2014, pilkada 2016 dan pilpres 2018 dimana isu agama dipakai untuk meraih simpati dan suara oleh para politikus. Akibatnya adalah sampai pilkada dan pilpres usai, rasa benci itu masih saja tumbuh.

Suasana itu tentu saja sangat jauh dari ajaran Pancasila yang menekankan adanya perbedaan di negara kita. Pancasila selalu mengingatkan bahwa perbedaan (untuk banyak hal) adalah keniscayaan bagi bangsa Indonesia. Jangan sampai demokrasi merusak Pancasila kita. Pancasila berharga bagi Indonesia; satu hal yang dikagumi oleh bangsa lain.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline