Beberapa hari ini media massa baik itu televisi, radio dan surat kabar ramai membicarakan pro kontra keinginan para eks Warga Negara Indonesia (WNI) yang bergabung dengan ISIS untuk pulang ke tanah kelahirannya yaitu Indonesia. Jumlah mereka cukup besar yaitu 660 orang yang datang ke negara itu selama kurun waktu sekitar enam sampai delapan tahun.
Asal mereka cukup beragam. Ada dari Jawa, Sulawesi, Nusa Tenggara, Sumatera dan beberapa daerah lainnya. Rerata mereka berangkat dalam rombongan besar (keluarga besar) meski ada yang berangkat hanya keluarga inti dan ada pula yang perseorangan. Inisiator keberangkatan mereka umumnya adalah anggota keluarga yang mendapatkan informasi soal ISIS dari internet.
Latar belakang mereka beragam, ada yang berpendidikan tinggi dan kondisi ekonomi cukup baik sampai rendah. Motif mereka cukup beragam, ada yang karena mengingini perbaikan ekonomi dan ada yang karena memang ingin bergabung dengan ISIS karena keyakinan mereka.
Mereka yang mengingini perbaikan ekonomi karena kehidupan mereka di Indonesia sangat sulit dan ISIS menjanjikan berbagai hal yang seakan melegakan.
Janji janji mereka antara lain adanya jaminan kesehatan dan pendidikan, perumahan dan lingkungan yang nyaman. Inilah perbedaan ISIS dengan Al Qaeda, karena Al Qaeda tidak pernah menjanjikan ini itu kepada para pengingutnya.
Sehingga diakui dengan waktu cukup singkat, ISIS mendapat simpati yang besar dari masyarakat dunia yang tidak puas dengan kehidupan mereka di negara asal.
Terlepas dari itu semua, yang layak kita soroti adalah mindset soal kekerasan dan hukum yang dimiliki oleh para ISIS eks WNI itu. Mereka yakin bahwa ke khilafahan adalah yang terbaik untuk mereka dan mengabaikan Pancasila dan UUD 1945.
Kekerasan yang diklaim sebagai ajaran agama murni yang mereka sepakati. Artinya mereka lebih suka dan nyaman dengan hukum yang ditegakkan oleh ISIS yang berbeda dengan hukum di Indonesia.
Sehingga jika semisal mereka pulang ke Indonesia (mungkin karena di sana mereka sudah tak bisa bertahan dalam taraf minimal karena kondisi ISIS yang kalah), secara pemikiran mereka sudah tidak bisa lagi menyesuaikan dengan apa yang menjadi dasar negara Indonesia.
Keragaman Indonesia tak sesuai dengan prinsip yang mereka yakini bahwa mereka hidup dalamsatu keyakinan, sehingga jika dipaksakan untuk hidup bersama maka akan banyak berbenturan dan bukan harmoni seperti yang selama ini kita yakini bersama soal Pancasila.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H