Siskamling adalah sistem keamanan keliling yang biasa diterapkan di desa-desa. Sistem ini dinilai efektif untuk menekan anak kriminalistas. Lalu, apa hubungannya dengan radikalisme? Dalam siskamling dituntut kebersamaan. Setiap warga harus berkontribusi menjaga lingkungannya. Setiap warga harus hadir, untuk saling interaksi dan kemudian melakukan keliling kampong secara rutin. Cara sederhana yang merupakan contoh kearifan lokal ini, terbukti mampu melekatkan hubungan tali slaturahmi. Tidak ada eksklusivitas yang bisa dilakukan oleh kelompk radikal. Bahkan jika ada warga pendatang, semua orang pasti akan tahu, karena ada tuntutan untuk saling berinteraksi. Untuk itulah, jika ada pendatang yang sengaja membawa bibit radikalisme, pasti akan segera terdeteksi.
Lalu kenapa sistem ini mulai banyaj ditinggalkan? Kenapa banyak orang enggan melakukan siskamling untuk lingkungannya sendiri? Seiring perkembangan teknologi, sistem keamanan banyak diserahkan ke tenaga satpam. Bahkan di kota besar juga dilengkapi sistem CCTV, untuk memantau setiap pergerakan yang ada. Sehingga setiap orang asing yang datang akan mudah terpantau. Sistem ini tentu juga bermanfaat. Apalagi perkembangan teknologi telah membuat modus para pencuri, atau pihak yang melakukan tindakan tak baik juga terus berkembang. Namun, proses silaturahmi dan interaksi itulah yang hilang ketika siskamling tidak terjadi. Karena proses tersebut juga mempunyai kontribusi aktif, jika bibit radikalisme mulai masuk ke kampong atau lingkungan kita. Dan ketika bibit radikalisme mulai masuk, satpam ataupun cctv tak akan mampu mendeteksinya.
Jika sudah kejadian, semua orang ramai-ramai berteriak kesalahan. Minimnya ini minimnya itu. Namun ketika kondisi tenang seperti sekarang ini, tidak ada satupun yang mengingatkan pentingnya menangkal radikalisme melalui siskamling. Di kota besar sekalipun sistem ini sebenarnya bisa diterapkan. Di kompleks perumahan hingga cluster, juga bisa menerapkan sistem ini. Ingat, radikalisme juga ikut berkembang menyesuaikan perkembangan teknologi yang ada. Mulai anak hingga dewasa bisa terpapar paham radikalisme. Mulai dari masyarakat biasa hingga pegawai negeri juga bisa terpapar. Untuk itulah, mari kita bersama berkomitmen untuk melakukan pencegahan.
Mari kita padukan perkembangan teknologi dan kearifan lokal, untuk melakukan pencegahan bibit radikalisme. Upaya pencegahannya pun harus dilakukan seefektif mungkin. Karena ini berkaitan dengan ideologi dan keyakinan, pendekatannya pun juga harus dilakukan secara lembut. Tidak bisa dilakukan secara keras. Jika ada salah satu keluarga atau tetangga kita mulai terindikasi terpapar radikalisme, mereka tetap harus mendapatkan perhatian yang sama dengan yang lainnya. Jangan sampai mereka kemudian dikucilkan. Ketika pengucilan itu terjadi, mereka akan semakin menguatkan keinginan untuk masuk dalam paham radikalisme.
Banyak contoh terjadi. Anak akan mencari pelarian keluar, karena tidak mendapatkan perhatian dari keluarga. Banyak anak muda berani melakukan tindakan radikal, karena terpapar paham dari luar. Bahkan tidak sedikit dari mereka berani melakukan aksi teror, karena salah mempelajari ajaran agama. Dan tidak sedikit dari mereka yang terpapar melalui dunia maya. Untuk itulah upaya pencegahan juga harus dilakukan melalui berbagai cara. Baik itu secara kearifan lokal ataupun melalui pendekatan literasi. Karena melalui literasi, anak diharapkan bisa mempunyai fondasi yang kuat untuk mencegah radikalisme.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H