Lihat ke Halaman Asli

Politik Etis sebagai Dampak Liberalisme di Indonesia

Diperbarui: 8 November 2022   20:18

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Terjadinya banyak peperangan di masalalu melahirkan banyak paham paham baru , salah satunya yaitu paham tentang kebebasan individu atau paham liberalisme. Zaman rennaisans adalah awal lahirnya paham liberalisme.  

Paham liberalisme adalah paham yg menjunjung tinggi kebebasan serta hak hak pada setiap individu dalam berbagai aspek kehidupan baik politik , agama , sosial maupun ekonomi. Yang mana hal ini menyatakan setiap negara harus menghormati setiap hak dan kebebasan warga negaranya. Liberalisme berkembang pada abad ke 18 dan 19 di prancis dan inggris

Politik etis adalah dampak liberalisme yg di rasakan oleh masyarakat Indonesia ,gerakan politik etis ini dilatar belakangi oleh kaum sosialis dan liberalis yang prihatin dengan kondisi ekonomi kaum pribumu sehingga pada tahun 1863 terjadilah penghapusan sistem tanam paksa dan diganti dengan di terapkanya sistem ekonomi liberal oleh belanda sehingga modal milik swasta masuk ke nusantara. 

Akan tetapi sistem ekonomi ini tidak dapat mengubah nasib rakyat sebab mengejar keuntungan tanpa memperhatikan kesejahteraan masyarakat pribumi.

Kebijakan pemerintah kolonial pada masa itu tidak memberikan keuntungan maksimal bagi masyarakat pribumi tetapi malah menimbulkan dampak buruk , yaitu semakin kuatnya tekanan terhadap rakyat  , serta kehidupan yang terus merosot pada masyarkat pribumi

Kritik mengenai kebijakan pemerintah yg mampu membuat hidup masyarakat pribumi sengsara disampaikan secara resmi oleh Mr WK baron van dedem  pada 1891 dalam sidang parlemen belanda , ia menuntut bahwa kauangan hindia belanda (koloni) harus di pisahkan dari keuangan negara induk (belanda) serta adanya desentralisasi dalam pemerintahan

Conrad Theodore van Deventer (1857-1915) tokoh liberal menyampaikan kritik melalui artikelnya Een Eereschuld (Hutang Kehormatan) yang dimuat dalam majalah De Gids 1899.

Dalam artikel itu menyebutkan dalam kurun waktu 1867-1878, Belanda telah mengambil keuntungan 187 gulden. Keuntungan itu seharusnya dikembalikan pada koloni karena pada dasarnya merupakan hutang kehormatan yang harus dibalas dengan kebijakan politik etis.

 Pada awal perumusan Kebijakan Politik Etis, terjadi pro dan kontra di kalangan intelektual, politisi dan rohaniawan (kalangan gereja) di Belanda.

Sebagian anggota Parlemen Belanda menentang tetapi ada juga yang mendukung program ini. Sebab dinilai mengandung tujuan manusiawi bahkan sebagai kewajiban moral terhadap rakyat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline