Peraturan Pemerintah Nomor 26 tahun 2023 tentang pengelolaan hasil sedimen laut menimbulkan banyak kontra di kalangan masyarakat, seperti akademisi, nelayan, pembudidaya serta masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil. Pengerukan pasir atau sedimen laut menyebabkan air laut menjadi keruh dan mengalami pengadukan, sehingga limbah-limbah yang berada pada sedimen laut teraduk dan terdistribusi ke kolom perairan. Limbah-limbah pada sedimen laut umumnya terdiri dari amonia (NH3), sulfur (H2S) dan bahan organik (N) (Mardiyah 2023). Limbah-limbah tersebut dapat menyebabkan gangguan pernasapan dan fisiologi pada organisme akuatik, sehingga organisme akuatik di wilayah yang tercemar limbah pasti akan bermigrasi ke lokasi perairan yang tidak keruh dan tidak tercemar limbah untuk menjaga kelangsungan hidupnya serta organisme akuatik yang tidak mampu bergerak cepat berpeluang besar mengalami kematian dan akan menjadi limbah kembali (bangkai). Bermigrasinya ikan keluar dari kawasan penangkapan nelayan lokal berdampak besar terhadap pendapatan nelayan (Dewi et al. 2022). Di sisi lain, pembudidaya ikan dan rumput laut juga terkena imbas dari aktivitas pengerukan pasir karena menyebabkan kematian ikan. Aktivitas pariwisata juga terkena imbas dari aktivitas pengerukan pasir karena mengganggu salah satu aspek dari 3 A, yaitu amenitas (kenyamanan publik).
Kemudharatan aktivitas pengelolaan hasil sedimen laut lebih besar dibandingkan manfaat yang diperoleh. Pemerintah seharusnya mengkaji regulasi ini secara multidimensional (ekonomi, lingkungan, sosial, pariwisata, dan lainnya) dan nilai-nilai keberlanjutan, bukan hanya berdasarkan situasi maraknya aktivitas pengerukan pasir laut secara ilegal. Pemerintah terkesan naif karena bersikap reaksional terhadap pengerukan pasir ilegal, namun tidak memberikan solusi yang solutif. Padahal, aktivitas pengerukan pasir ilegal dapat diatasi melalui tugas dan wewenang Pengawas Perikanan KKP. Pemerintah terkesan gagal dalam memenuhi kebutuhan masyarakat karena regulasi ini justru hanya menguntungkan pihak-pihak yang melakukan aktivitas pengerukan pasir dan sedimen.
Perikanan dan kelautan merupakan sektor penting pembangunan ekonomi di Indonesia sesuai pasal 33 ayat 1-4 UUD 1945, namun sampai saat ini implementasi regulasi dan pengawasannya terhadap peningkatan marwah nelayan, pembudidaya, pemandu wisata serta masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil belum optimal. Hal ini didasari data terkait 7,87 juta nelayan tergolong miskin (Ali 2020) dari 31,02 juta jiwa masyarakat miskin di Indonesia. Alangkah lebih baik jika pemerintah lebih fokus terhadap permasalahan ekologi dan biologi perairan terkait optimalisasi perikanan dan kelautan untuk kesejahteraan masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil. Sungguh ironi melihat kenyataan bahwa pemerintah yang diisi oleh orang-orang berpendidikan, berpengetahuan dan berketerampiilan justru belum mampu mengatasi permasalahan mendasar (grassroot) dari ekologi dan biologi perairan.
Daftar Pustaka
Ali AA. 2020. Identifikasi dan pemberdayaan masyarakat miskin nelayan tradisional. Pondasi. 25(1):37-49.
Dewi, Pelamonia M, Louhenapessy WGM. 2022. Analisis pendapatan nelayan di Dusun Telaga Biru Desa Piru Kabupaten Seram Bagian Barat. Aurelia: Jurnal Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Indonesia. 1(2):198-205.
Mardiyah. 2023. Analisis kualitas air dan sedimen serta kelimpahan isotop stabill 813C pada sedimen di Teluk Hurun Lampung [skripsi]. Jakarta(ID):UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H