Lihat ke Halaman Asli

Menggali Kearifan Lokal di Kelurahan Jebres

Diperbarui: 24 Juni 2015   17:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

The dream come true, harapan dan impian itu akhirnya terwujud jua; keinginan yang sudah lama terpendam yakni upaya merangkai asal muasal sejarah Kelurahan Jebres Kota Surakarta itu akhirnya dapat tercapai dengan siap terbitnya buku berjudul; Babad Kademangan Jebres (Menghadang Perang di Tepi Bengawan) dimana penulisannya dilakukan secara keroyokan, diantaranya oleh; Kun Prastowo, Parpal Poerwanto, Yuni Pitoyo, Joko Prasetyo dan Aiptu Wagino.

Buku ini diharapkan menjadi sebuah kontribusi riil untuk kampung halaman. Sekecil apapaun kontribusi itu tentu akan memberi nilai lebih dan semoga mendapat apresiasi positif dari warga masyarakat Kelurahan Jebres khususnya dan warga Kota Surakarta umumnya.

Upaya ini merupakan sebuah kerja dalam merangkai kembali sejarah (Babad) yang tentunya tidak akan terlepas dari sejarah keberadaan kraton Kasunanan Surakarta dan bahkan sejarah Perang Jawa (Perang Diponegoro; 1825-1830). Buku ini juga akan mengungkap sejarah nama kampung (Toponimi) di Kelurahan Jebres, seperti kampung Ngemingan, Petoran, Tegal Kuniran, Bulu Kanthil, Mapagan, Sanggrahan, Kaplingan, Guosari, Mondokan, Ngasinan, Kentingan, Gulon, Purwoprajan, Gempolan, Panggungrejo dan juga kampung Kandangsapi. Tidak lupa beberapa peninggalan sejarah seperti; Sendang Penganten, Tugu Cembengan, Tiong Ting maupun makam Mojo.

Referensi dari penyusunan buku ini adalah 'pengeramatan'yang didukung oleh berbagai folklor, yaitu: (a) Folklor lisan; diantaranya cerita-cerita rakyat tentang Ki Joyo Mustopo sebagai Demang Jebres, Canthik Rajamala maupun Kedung Penganten di Sragen. (b) Folklor sebagian lisan; berupa tradisi-tradisi masyarakat dan tradisi tersebut terjaga menimbulkan berbagai kepercayaan oleh masyarakat sekitar, seperti tradisi bersih desa atau merti desa, tradisi larung yang mana setiap tradisi selalu diiringi kesenian rakyat dan doa-doa dari tokoh masyarakat. (c) Folklor bukan lisan; berupa makam Ki Demang Jebres di Komplek Pergudangan Pedaringan, Pekak/Kendali Kuda Sampar Angin dan Jalumampang, sesaji-sesaji yang kesemuanya itu membuat suatu tempat menjadi sakral.

Bahkan, khusus untuk makam Ki Demang Jebres ini sebenarnya pada tahun 1995 lalu pada masa Walikota R Hartomo pernah akan digusur untuk dijadikan Komplek Pergudangan Pedaringan. Namun, tiap kali backhoe diarahkan ke makam itu selalu tidak berhasil dan terakhir kalinya backhoe itu terbalik dan dibiarkan saja teronggok disetu lebih dari 2 bulan. Akhirnya, upaya penggusuran makam itu dihentikan dan hingga kini makam itu tetap dipelihara kebradaannya.

Sebagaimana keyakinan warga Kelurahan Jebres --merupakan kelanjutan dari cikal bakal sebuah wilayah kademangan yang dulu bernama Jebres-- bahwa Ki Joyo Mustopo (Demang Jebres) diyakini sebagai salah satu 'pentolan' pasukan Balkiyo atau pasukan telik sandi dari Laskar Pangeran Diponegoro di wilayah Surakarta bagian utara, tepatnya di sekitar Gunung Kendil (sekarang menjadi lokasi Universitas Negeri Surakarta). Pasukan telik sandi itu merupakan pasukan militan yang seringkali memporak-porandakan Kompeni dan bahkan Benteng Vastenburg.

Semangat juang, cinta tanah air dan keinginan untuk sejajar dengan bangsa lain nampaknya perlu digelorakan kembali, dimana kearifan lokal di Kelurahan Jebres tersebut diharapkan akan dapat mengingatkan lagi nilai-nilai luhur dalam menegakkan negara bangsa yang bernama Indonesai ini.



Proses Penyusunan

Proses penyusunan buku ini pun memakan waktu yang tidak pendek, berawal dari rasan-rasan (sarasehan) pengurus Pokdarwis (Kelompok Sadar Wisata) Kelurahan Jebres yang terdiri dari Joko Prasetyo (Ketua), Kun Prastowo (Sekretaris) dan Aiptu Wagino (Bendahara) yang mengerucut pada niatan untuk mencari icon budaya Kelurahan Jebres dikarenakan iri dengan kelurahan lain yang sudah memiliki kegiatan budaya, akhirnya sarasehan itu justru berkembang menjadi sebuah keinginan untuk menggali kesejarahan kelurahan yang berada di ujung timur Kota Surakarta itu.

Sarasehan-sarasehan lanjutan pun dilakukan dengan melibatkan berbagai pihak; mulai dari tokoh seni budaya, para pinisepuh dan para tokoh masyarakat. Sarasehan-sarasehan itu ternyata menarik perhatian salah satu arkeolog dan pengrajin patung kuningan Yuni Pitoyo yang sebelumnya juga tergelitik dengan dongeng mBah Demang Jebres. Dari Yuni Pitoyo inilah akhirnya ditemukan berbagai dukumen dan referensi akurat berkaitan keberadaan Demang Jebres.

Setelah referensi dirasa cukup, akhirnya disiapkan sebuah alur cerita untuk merangkai folklor itu menjadi sebuah rangkaian cerita yang utuh. Kemudian dilanjutkan dengan seting dan lay out untuk menjadi mock up buku. Buku 'edisi' perdana ini selanjutnya disebar ke berbagai pihak yang dirasa kompeten untuk mendapatkan masukan kritik maupun saran, boleh dikatakan kegiatan ini seperti editing bersama.

Tiap kali mendapat masukan, maka langsung dilakukan pembenahan. Tidak jarang pihak yang kita bidik menjadi editing justru terkejut karena tidak menyangka bahwa Pokdarwis Jebres mampu menerbitkan sebuah cerita rakyat yang begitu runtut. Dan tahap terakhir yang juga cukup melegakan adalah kehadiran Taufik Ismail, seorang ilustrator. Dari sentuhan tangannya, diperoleh gambar-gambar yang mendukung alur cerita. Kualitas buku pun kami rasa menjadi lebih baik.



Apresiasi dan Dukungan

Apresiasi dari khalayakpun ternyata sangat membanggakan, beberapa pihak menyambut upaya penerbitan buku ini dengan antusias; Portal SoloBlitz melakukan wawancara dan memberitakan, Koran Harian Joglosemar melakukan wawancara dan menampilkan pada edisi hari Minggu (24/2), Tabloid Cempaka mewawancari namun belum ditampilkan, FKIP UNS mengajak Bedah Buku, Budayawan Solo ST Wiyono siap membantu langkah-langkah menampilkan event budaya, Dinas Kebudayaan & Pariwisata Kota Surakarta juga siap mendukung. Begitu juga komentar-komentar pada dinding Facebook yang rata-rata mendukung upaya ini.

Dukungan internal dari Lurah, Agung Riyadi SH MH juga sangat konstruktif bahkan terlibat langsung proses editing dengan cukup detail. Ketua LPMK, Tri Sapto Handoyo juga sangat antusias dan mengharapkan sisi kehati-hatian dalam menampilkan bagian-bagian penting.

Buku ini diharapkan menjadi pisungsung (persembahan) bagi semua warga Kelurahan Jebres untuk lebih bersatu padu membina kerukunan, mengobarkan kembali partisipasi warga serta mengabarkan bahwa di Jebres ada seorang tokoh yang patut diteladani dari sisi semangat juang, cinta tanah air dan semangat pantang menyerah-nya, yang tersemayam di jiwa Ki Joyo Mustopo (Demang Jebres).

Harapan lain semoga kedepan Pokdarwis mampu mewujudkan sebuah event budaya sebagai representasi budaya di Kelurahan Jebres, walau embrio itu sudah ada, namun masih perlu mendapatkan kemasan secara detail. Keyakinan itu layak diapungkan karena Kelurahan Jebres adalah kedung-nya seniman, di wilayah ini ada Institut Seni Indonesia (ISI) dan juga Universitas Negri Surakarta yang tentu akan berkontribusi.

Event yang disiapkan itu adalah Kirab Budaya Kembul Bujana, dipilihnya moment itu karena kesejarahan; dulu ketika Ki Joyo Mustopo selesai menggalang kekuatan pasukan telik sandi dilanjutkan dengan melakukan acara kembul bujana (makan bersama atau kenduri) dan tidak diduga acara tersebut dihadiri Kiai Bangun Tapa yang merupakan penyamaran dari Sinuhun Paku Buwono VI.

Penyusunan buku ini bukannya tanpa kendala, diantara kendala itu adalah ego kepentingan dan tekanan pengaruh. Artinya; upaya penerbitan buku ini diarahkan menjadi bagian kelompok tertentu dan upaya meninggalkan berbagai pihak yang sejak awal terlibat dalam penyusunan buku ini. Bahkan, Ketua Pokdarwis 'hampir' tersulut untuk membubarkan Pokdarwis karena merasa tidak sreg atas tekanan-tekanan itu. Namun, ketika kesepahaman dan komitmen awal menjadi sandaran perfikir maka langkah-langkah selanjutnyalah yang menjadi tujuan.

Sekali lagi, semoga hadirnya buku berjudul Babad Kademangan Jebres (Menghadang Perang di Tepi Bengawan) ini menjadi pemicu hadirnya buku-buku lanjutan tentang kesejarahan Kelurahan Jebres. Dan kedepan makam Ki Demang Jebres dapat disulap menjadi hutan kota dan lokasi itu dapat menjadi salah satu wisata religi di Kota Surakarta.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline