Beberapa dari kita, mungkin menghadapi banyak kesulitan hidup sebelum pada akhirnya berada pada titik stabil kehidupan sekarang. Baik kesulitan dari sisi ekonomi, sosial, kondisi hubungan orangtua yang tidak harmonis, masalah romantisme, atau problem apapun. Semua kesulitan yang berhasil dilalui, menjadi sebuah landmark, dimana jika kita memandang ke belakang, kita tersenyum. Senyum manis, pahit atau masam. Tapi kita tersenyum, sulit membayangkan kembali bahwa kita telah berhasil melaluinya, meskipun dengan carut marut luka, yang tidak semua bekasnya bisa hilang.
Tidak hanya satu - dua landmark atau titik penting dalam kehidupan. Ada yang memiliki banyak, jauh lebih dari jumlah bekas luka yang tertinggal. Semua carut marut yang menghiasi kehidupannya, tidak selalu bisa dilihat orang lain. Ada yang menyimpannya untuk diri sendiri, ada yang hanya memperlihatkannya pada orang-orang tertentu. Selebihnya orang, hanya akan melihat kehidupan stabilnya saat ini. Berkecukupan, keluarga harmonis, bahagia.
Dalam menjalani hidup pada level yang jauh lebih baik, bekas luka yang tak bisa hilang ini kerap membisikan kata-kata di telinga. Kata-kata yang membuat kita terus membangun benteng-benteng pertahanan agar tidak lagi tercipta luka yang sama, maka kehidupan akan semakin stabil, baik, dan lebih terjamin. Semua pengalaman telah membuat kita lebih berhati-hati, lebih kuat dalam menjalani kehidupan.
Kita tidak akan pernah mengerti sebelumnya, bahwa setiap kesulitan merupakan sebuah kesempatan. Saat berada di dalamnya, seringkali kita menyesali, mengutuk dan mengeluh. Tidak terpikir sedikitpun bahwa kesulitan itu yang kelak membukakan banyak pintu kesempatan untuk menjadikan kualitas diri meningkat. Dan kita berhasil menghindari permasalahan lebih besar di saat ini, berkat kesulitan yang dulu pernah kita alami. Tapi saat dahulu berada dalam kesulitan itu, tidak sedikitpun kita melihatnya sebagai suatu kebaikan.
Lucunya, bahkan setelah hidup sudah jauh lebih baik saat ini, kita masih juga mengingkarinya. Kita berusaha sekuat mungkin agar orang-orang yang kita cintai tidak mengalami kesulitan yang sama seperti apa yang pernah kita hadapi dulu. Benteng-benteng pertahanan yang kokoh, bukan hanya kita bangun untuk perlindungan diri sendiri, namun juga kita dirikan untuk orang yang kita cintai, terutama anak kita.
Bisikan bekas-bekas luka di telinga, tanpa disadari membangkitkan ego kita untuk merampas kesempatan yang harusnya menjadi milik orang yang kita cinta. Mereka hanya boleh merasakan keindahan hidup, memiliki keluarga yang harmonis, orang tua yang selalu mendukung, yang selalu memberi kenyamanan, kebutuhan ekonomi yang tercukupi bahkan berlebih, tatanan sosial yang kita kondisikan, kita bentuk, agar anak merasa selalu nyaman di dalamnya.
Sekilas memang terasa tidak ada yang salah dengan itu. Menyediakan sarana kehidupan yang 'baik' bagi anak, merupakan cita-cita orang tua yang sangat wajar. Tapi benarkah demikian?
Mungkinkah yang kita lakukan dalam pemenuhan apapun, yang kita anggap sebagai kebutuhan anak, adalah hanya sebuah wujud pembalasan dendam, dimana dulu kita seringkali merasa kekurangan?
Handphone mereka lebih canggih daripada yang kita miliki, bahkan mungkin berjumlah lebih dari satu. Uang saku berlebih dari kebutuhan, agar anak bisa membeli sesuatu yang mereka inginkan tanpa bersusah payah seperti kita dulu, yang hanya bisa menelan ludah saat ingin membeli gamewacth super mario bros seperti milik teman-teman di sekolah.
Atau menyisihkan uang jajan setengah tahun lebih untuk bisa membeli mobil tamiya abal-abal, yang sekali dimainkan, langsung terbakar mesinnya. Membayangkan setting lengkap rumah barbie berikut mobil dan baju-bajunya yang glamour, saat bermain orang-orangan kertas seharga Rp.100 per lembar lengkap dengan bajunya.