Lihat ke Halaman Asli

Veronica Rompies

hobi ngomong, omongannya ditulis. haha.

Curhat Seorang "Ex-Ahoker"

Diperbarui: 12 Mei 2017   01:54

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Trilogi SaveNKRI #1

Dulu saya bangga menyebut diri seorang AHOKER, sama seperti banyak orang lainnya.  Diawali dengan kekaguman saya melihat beberapa video di youtube saat ia memimpin rapat tentang anggaran di sebuah dinas beberapa tahun lalu.  Kemarahannya yang diungkapkan tanpa ragu melihat anggaran dengan mark up beberapa kali lipat.  Seketika secercah harapan akan adanya pemerintahan bebas korupsi mulai timbul saat melihat belasan orang berseragam PNS tertunduk takut dan malu waktu Ahok menelanjangi rencana anggaran konyol yang selama ini selalu berjalan aman, damai, saling mengerti saling menghormati dan saling menutupi pencurian uang rakyat besar-besaran yang terjadi bertahun-tahun.

Kemudian disusul dengan sepak terjangnya yang lain yang hampir selalu mencengangkan, keberaniannya untuk menjadi normal di tengah-tengah ketidaknormalan sistem korupsi yang telah mengakar.  Kekaguman berkembang menjadi cinta, pada sosok yang luar biasa ini.  Harapan semakin besar, Jakarta sebagai kota kelahiran saya, Ibu Kota negara saya, akan menjadi satu role model bagi daerah lain yang tidak bisa ditolak, karena gaungnya terdengar setiap hari, dan hasil kerjanya dirasakan banyak penduduk Jakarta yang menjadi sorotan seluruh nusantara.

Tentunya saya juga tidak menutup mata atas banyaknya warga yang Jakarta yang kecewa dengan kebijakan Ahok.  Namun pembersihan memang tidak bisa membuat semua kalangan senang, mereka yang tersingkir setelah bertahun-tahun hidup nyaman secara ilegal, bisnis perjudian dan prostitusi yang terpaksa bubar, preman-preman penjaga bisnis hitam itu juga terpaksa kehilangan klien.  Pedagang kaki lima yang tidak bisa lagi berjualan di badan jalan dan membuat kemacetan yang menguntungkan, dan sederet daftar lainnya tentang orang-orang kecewa termasuk ormas-ormas preman yang kehilangan jatah dari Pemprov.

Namun seiring berjalannya waktu, terutama saat melihat bagaimana Ahok menerima kekalahan pada quick count pilkada, dan hari-hari selanjutnya, ia tetap bekerja, memecat lurah, menemui warga di balaikota, menyediakan diri untuk antrian panjang yang datang hanya sekedar ingin bertemu dan foto bersama, saya mulai merasa ada yang salah dengan rasa yang ada.  Ditambah lagi dengan ribuan karangan bunga dengan ucapan sedih yang lucu pada slide video, disertai foto tangisan rakyat kecil yang berkumpul di balaikota yang seolah menjadi contoh dari salah satu tulisan pada karangan bunga: "...dari kami yang patah hati, ditinggal saat lagi sayang-sayangnya".

Seiring dengan itu, beranda FB saya juga dipenuhi dengan caci maki kepada Ahok dan pendukungnya yang dinilai lebay, baper, ga bisa move on, dan lain sebagainya, bahkan saat karangan bunga dibakar tanpa sebab yang jelas pada hari buruh, banyak yang tertawa bahagia atas aksi itu dan mensyukuri dengan mengucap doa dan penggalan-penggalan ayat suci.  

Puncaknya pergumulan saya terjadi pada saat Ahok ditetapkan bersalah dan dijatuhi vonis hukuman penjara 2 tahun dengan pasal penistaan agama.  Ucapan syukur dengan do'a, kembali membanjiri beranda FB saya sebanyak mereka yang marah dan tidak terima atas vonis itu.  Dari foto lambang burung Garuda berlatar belakang bendera Merah Putih, photo profile hitam pertanda duka cita, tagar RIPjustice, hingga foto anak pejabat bersama tumpeng perayaan dengan ucapan Selamat Ahok Dipenjara.

Ribuan pendukungnya menyalakan lilin, bernyanyi, menyuarakan tuntutan, kekecewaan dan kesedihan.  Tangis air mata di mana-mana, tontonan tentang akal sehat yang mulai bergeser tergantikan emosi yang meletup-letup atas ketidakadilan yang menimpa sosok Ahok tercinta.  

Perlahan, saya tidak lagi merasa menjadi bagian dari ahoker.  Bukan.  Saya jelas bukan lagi seorang ahoker.  Kemarahan yang tadinya membara, berubah menjadi kesedihan.  Bukan, saya tidak sedih meratapi Ahok yang harus mendekam di penjara, sama sekali tidak.  Dua tahun bukan waktu yang lama, bahkan itu adalah sebuah harga yang sangat murah yang dibayar Ahok, demi perjuangan yang baru dimulai.  Kesedihan saya karena melihat kenyataan yang terjadi, terbelahnya warga nusantara menjadi dua kubu besar, yang sama-sama berjuang tanpa benar-benar mengerti apa yang mereka perjuangkan.  

Sebuah petikan pada surat Ahok dari dalam penjara:

" teman-teman seperjuangan, terima kasih untuk cinta dan dukungan yang sudah kalian tunjukan buat saya. perjuangan kita belum selesai. bahkan justru baru dimulai dengan babak yang baru juga. teruslah menjaga nyala api perjuangan, sekuat apa pun angin yang mencoba untuk memadamkan api itu."

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline